RADARSEMARANG.COM, Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Ditandai dengan perubahan fisik, psikis, dan psikososial. Di Indonesia batasan usia remaja antara 11 sampai 24 tahun dan belum menikah (Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono 2007: 14).
Masa ini sangat rentan dengan masalah pergaulan dan keadaan lingkungan. Situasi ini menjadi berat (apabila dibandingkan remaja pada tahun 1980-an) karena derasnya arus perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi seharusnya dapat dimanfaatkan secara bijak ke arah yang lebih baik dan positif. Namun kenyataannya, banyak kita jumpai pemanfaatan teknologi ke arah hal-hal kurang bermanfaat dan yang lebih parah lagi cenderung ke arah hal negatif.
Anak-anak usia sekolah secara umum lebih senang menggunakan gawai mereka untuk rekreatif semata: bermain game, bermain media sosial, dan hal lain yang kecil guna. Kebiasaan tersebut secara otomatis menurunkan motivasi belajar mereka. Jadi, selaku pendidik harus mempunyai formula atau metode tertentu untuk menumbukan kembali motivasi belajar mereka.
Motivasi belajar menurut Sardiman (2018: 75) adalah, “Keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai”.
Pada umumnya motivasi belajar dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang terjadi aktif atau berfungsi tidak perlu diransang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi ektrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya peransang dari luar (Sardiman, 1996: 90). Terkait motivasi belajar yang menurun, pendidik perlu mencari solusi yang tepat. Salah satunya bisa melalui biblioterapi.
Bradley T. Erford (2015) menjelaskan biblioterapi adalah istilah yang disampaikan oleh Samuel Crothes pada tahun 1916 untuk mendeskripsikan penggunaan buku sebagai bagian dari proses konseling melalui pendekatan kognitif-perilaku.
Buku-buku dapat membantu dalam mengubah pikiran, perasaan dan perilaku pembaca. Solusi ini dipandang sesuai karena siswa SMP Negeri 1 Grabag siswa yang kognitifnya di atas rata-rata (rapor pendidikan SMPN 1 Grabag 2022).
Teknik biblioterapi dapat diterapkan kepada siswa oleh guru BK dengan cara berkolaborasi dengan petugas perpustakaan sebagai penyedia bahan literatur, atau dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, literatur yang bisa diperoleh dengan mudah didapat. Sehingga pelaksanaan biblioterapi bersifat fleksibel. Sebagai contoh, dalam bidang layanan belajar dengan topik pentingnya motivasi belajar, sangat jelas bahwa masalah yang dihadapi siswa pada umumnya adalah menurunnya motivasi belajar.
Guru BK dapat mengarahkan siswa mencari bahan literatur misalnya tentang biografi tokoh inspiratif yang mereka idolakan. Siswa diberi kebebasan mencari literatur seperti yang dijelaskan sebelumnya. Dari literatur yang mereka baca kemudian dirangkum dalam bentuk poster digital yang memuat gambar tokoh idola, dan proses keberhasilan tokoh idolanya dalam mencapai kesuksesan.
Metode biblioterapi tidak hanya membaca, tapi guru BK bisa juga mendongeng/bercerita tentang kisah-kisah inspiratif yang menggugah semangat motivasi belajar siswa. Metode biblioterapi yang diterapkan diharap mampu mengatasi permasalahan menurunnya motivasi belajar dalam masa pemulihan pasca pendemi Covid-19. Sehingga siswa memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap diri dan lingkungannya, terbuka pikirannya, dan sadar akan tugas perkembangannya sebagai seorang remaja dan pelajar.
Penerapan metode biblioterapi dalam Bimbingan dan Konseling (BK) ini sangat penting sebagai bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam dunia pendidikan untuk memotivasi anak dalam belajar. Metode ini sangat relevan dengan program Gerakan Literasi Sekolah yang digaungkan oleh pemerintah saat ini. (gr1/lis)
Guru BK & Kepala Perpustakaan SMPN 1 Grabag, Kabupaten Magelang