RADARSEMARANG.COM, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 31 ayat 3 menyebutkan, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini kemudian diperinci melalui UU Nomor 20 tahun 2003 bahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, mandiri, bertanggung jawab, kreatif dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pentingnya penanaman iman dan taqwa bagi keberlangsung kehidupan manusia sangatlah penting dalam praktik pendidikan yang kita terapkan. Sebab, iman dan taqwa inilah karakter utama bangsa Indonesia. Karakter merupakan sifat batin yang memengaruhi segenap perilaku, pikiran, budi pekerti, dan tabiat manusia dan makhluk hidup hewan. Hal itu juga penulis terapkan di SD Negeri Podosoko 1, Sawangan, Kabupaten Magelang.
Perbedaan di antara keduannya adalah manusia memiliki kemampuan menangkap, mengolah dan menyampaikan informasi kepada yang lain, sedang hewan tidak memiliki kemampuan itu. Sehingga selamannya hewan tidak akan berubah. Rektor Universitas Al Azhar Indonesia menyebut karakter itu sebagai DNA (deoxyribonucleic acid) dasar manusia.
Praktik yang terjadi di lapangan lebih dominan mengisi akal dan mengenyampingkan qolb (hati). Pendidikan lebih cenderung kepada fokus pengetahuan dan keterampilan, yang jika ketemu dengan kehidupan masyarakat luas pengetahuan dan keterampilan ini menjadi kehilangan nilai dan spiritualitas. Padahal nilai dan spiritualitas itu sebagai tuntutan hati nurani, qalb (rasa dan karsa) yang lebih tajam dan otentik.
Inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai masalah moral yang muncul akhir-akhir ini,seperti ketidakjujuran, tidak menghormati, dan rendahnya toleransi yang pada akhirnya merusak karakter bangsa. Fenomena maraknya orang tua memberikan tambahan les bagi anak-anaknya dalam rangka meningkatkan kemampuan kognitif barang kali sudah menjadi budaya dan tren orang tua kekinian. Bagi orang tua, prestasi terbaik dan terukur tidak lain adalah rapor siswa yang berisikan ranking dan angka-angka. Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang memang memberlakukan sistem rapor sebagai bahan ukur kualitas siswa.
Berdasarkan suatu penelitian, kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan atau kemampuan teknis (hand skill) saja, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang hanya ditentukan 20 persen oleh hand skill dan sisannya 80 persen oleh soft skill.
Yang termasuk soft skill adalah berpikir kritis, komunikasi yang baik, mengakses, menganalisa, dan mensintesis informasi, rasa ingin tahu, kreatif dan inovatif, serta kepeminpinan.
Oleh karena itu, proses menyeimbangkan jalannnya pendidikan agar mencakup berbagai dimensi sebagaimana disebutkan di atas, antara akal dan qolb, antara kognitif afektif dan psikomotorik, maupun antara hand skill dan soft skill,PBB melalui UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan, yakni learning to know,learning to do, learning to be, dan lerning to live together.
Ke empat pilar pendidikan tersbut menggabungkan tujuan tujuan IQ intelegency quotient, EQ emotionnal quotient dan SQ spiritual quotient. Tidak seimbangnya pendekatan ketiga aspek kecerdasan ini dalam dunia pendidikan artinya pendidikan tersebut mengingkari nilai-nilai kemanusiaan. Atau dalam bahasa lain tidak memanusiakan manusia. (ump2/aro)
Guru SD Negeri Podosoko 1, Sawangan, Kabupaten Magelang