RADARSEMARANG.COM, Pencapaian kalangan milenial tidak diragukan lagi. Di tengah terpaan badai Covid-19, kalangan milenial seolah menegaskan identitasnya sebagai pewaris sah peradaban di zamannya. Beragam profesi lahir saat ini, mulai dari programer, analis data digital, dan gamer. Semua profesi tersebut mampu mendulang rupiah yang tidak sedikit.
Namun demikian, sulit untuk menepis kekhawatiran berkaitan dengan sikap kalangan milenial. Betapa dunia digital ibarat pisau belati, yang bermata dua. Satu sisi sangat positif untuk kemajuan zaman, namun di sisi lain juga sarat dengan marabahaya.
Kita jumpai kalangan milenial menjadi pribadi yang individualis, kurang ramah, bahkan cenderung acuh tak acuh dengan lingkungan sekitar. Banyak yang berpendapat, para pelajar wajib mengikuti laju perkembangan zaman, namun harus tetap tumbuh menjadi pribadi yang sopan, peduli sekitar, cinta tanah air dan sikap sosial lainnya. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Dalam pembelajaran bahasa Jawa di tingkat SMA dan sederajat, ada kompetensi dasar yang harus disampaikan kepada siswa, yakni serat Tripama. Secara umum, serat Tripama menguraikan cerita keperwiraan tiga tokoh wayang, yakni Raden Sumantri, Raden Kumbakarna dan Raden Basukarna. Salah satu manuskrip kuna ini terbilang sangat ringkas, terdiri dari tujuh bait tembang dandanggula. Kendati demikian, salah satu masterpiece karya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV ini sarat dengan pesan penting dalam membangun tradisi pendidikan yang berkarakter, utamanya bela negara.
Pada bait kesatu dan kedua, serat Tripama menguraikan sifat utama Raden Sumantri, atau bergelar Patih Suwanda. Demi menjadi prajurit Prabu Arjuna Sasrabau, Raden Sumantri bersumpah untuk mendarmakan semua yang dimilikinya. Yang selanjutnya dikenal dengan sebuah saloka, yakni guna, kaya lan purun. Artinya, Raden Sumantri bersumpah akan mededikasikan ilmu, harta, bahkan keselamatannya untuk Prabu Arjuna Sasrabau dan kerajaan Maespati.
Sumpah prajurit Raden Sumantri beberapa kali diuji. Hancur lebur hati Sumantri ketika harus merelakan kekasih hatinya duduk bersanding sebagai permaisuri rajanya. Di akhir perjalanan hidupnya, Sumantri harus menerima kenyataan pahit karena adik tercintanya, Raden Sukrasana menjadi tumbal karir keprajuritannya. Bukan oleh senjata lawan, melainkan di tangan Sumantri sendiri. Melengkapi derita hidup sang kesatria, Raden Sumantri harus menjemput kematiannya sendiri, ketika Prabu Rahwana mengamuk di Maespati.
Pada bait ketiga dan keempat, Serat Tripama menguraikan nasionalisme Raden Kumbakarna. Di tengah amukan Raden Rama Wijaya, yang dibantu Prabu Sugriwa beserta prajurit Goa Kiskenda, Raden Kumbakarna menyaksikan anak-anaknya, saudara, teman sepermainan dan ribuan prajurit Ngalengka mati berkalang tanah.
Raden Kumbakarna sadar, perang disebabkan keserakahan kakaknya, Prabu Rahwana. Namun pantang baginya mengikuti jalan berpikir adiknya Gunawan Wibisana. Adiknya memutuskan bergabung dengan Raden Rama Wijaya, dengan dalil tegaknya kebenaran. Bagi Raden Kumbakarna, mengabdi untuk bangsa dan negara itu tanpa sarat. Lebih baik menjadi tumbal perang daripada hidup menyaksikan bumi tempatnya dilahirkan hancur oleh musuh.
Pada bait kelima dan keenam, kita disuguhi kisah yang sangat memilukan dari Raden Basukarna. Bagi seorang kesatria, tidak ada hal yang lebih membanggakan, kecuali gugur di medan laga. Ketika tersiar kabar kematian Raden Karna, seketika perang Baratayuda berhenti. Seluruh prajurit, tidak peduli teman ataupun lawan terpukul atas kabar tersebut.
Ketika perang baratayuda, Raden Karna harus menerima kenyataan memerangi ibu dan saudara-saudaranya Pandawa. Ucapnya, bahwa Raden Karna akan menjadi benteng keselamatan bagi Prabu Kurupati dan kerajaan Ngastina. Bagi Raden Karna, apa yang terucap pantang ditarik kembali karena seorang kesatria harus menjunjung prinsip berbudi bawa laksana. Yakni, satunya kata dan perbuatan. Yang terucap harus teguh dilaksanakan, apapun risikonya.
Pada bait terakhir, K.G.P.A.A. Mangkunegara IV menyampaikan nasihat yang sangat tegas, jangan sampai kalah dengan Raden Kumbakarna, yang notabene raksasa. Sepatutnya para taruna, pemuda, pelajar dan seluruh elemen negeri ini mencontoh ketiga tokoh wayang di atas. Tidak harus seluruhnya, paling tidak semampunya. Semua elemen negeri ini harus punya komitmen untuk membangun negeri. Jangan tanya, apa yang sudah negara ini berikan. Tapi tanyakan pada diri masing-masing, perihal apa yang sudah disumbangkan kepada nusa dan bangsa ini. (ump1/lis)
Guru Bahasa Jawa SMAN 1 Salaman, Kabupaten Magelang