27 C
Semarang
Sunday, 20 April 2025

Harmoni dalam Pembentukan Kalimat Sastra Jawa pada Tembang Macapat

Oleh: Aida Yuliawati, S Pd

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, ADA satu keunikan dalam sastra jawa dalam wujud tembang Macapat. Syairnya mudah diingat dan memiliki harmonisasi sehingga enak didengar di telinga, meskipun dalam penelaahan dan pemahaman terhadap teks syair tersebut dibutuhkan kedalalaman ilmu dan wawasan tentang kebudayaan jawa.

Di dalam tembang macapat terdapat beberapa unsur dalam pembentukan setiap kalimat syairnya seperti guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan dengan pemilihan kata yang tepat sebagaimana konteks tema yang akan disajikan dalam sebuah tembang, sehingga menjadikan tembang macapat sebagai sebuah mahakarya adiluhung yang memiliki nilai keunikan yang tidak dapat ditiru oleh kebudayaan lain. Seperti yang diajarkan di SMKN 7 Semarang.

Guru Gatra, yang merupakan jumlah baris dalam setiap bait memiliki keteraturan, konsistensi, pada setiap tembang macapat. Bila dalam setap bait dimulai hanya 4 baris kalimat maka dalam bait berikutnya selalu sama. Contoh dalam sebuah tembang Pangkur: Sekar Pangkur kang Winarna, Lelabuhan kang kangge wong aurip, Ala lan becik punika, Prayoga kawruhana, Adat waton punika dipun kadulu, Miwah ingkang tatakrama, Den kaesthi siyang ratri.

Dari tembang di atas terdapat tujuh baris kalimat yang dimana dalam setiap tembang pangkur akan memiliki tujuh baris kalimat, sebagaimana contoh: Mingkar-mingkuring angkara, Akarana karenan mardi siwi, Sinawung resmining kidung, Sinuba sinukarta, Mrih kertarto, pakartining ngelmu luhung, Kang tumrap neng tanah Jawi, Agama-ageming aji.

Menyusun teks syair dengan keteraturan dan konsistensi setiap tembangnya dengan pemilihan kata sebagaimana konteks yang disajikan merupakan hal yang sulit, tentu saja aturannya tidak sekedar guru gatra, juga ada aturan lain seperti guru lagu dan guru wilangan.
Guru wilangan adalah banyaknya jumlah suku kata dalam setiap baris. Tembang macapat disusun dengan konsistensi jumlah yang sama jumlah suku kata setiap barisnya pada bait yang satu dengan yang lainnya memiliki konsistensi jumlah suku kata yang sama. Sedangkan guru lagu adalah jatuhnya huruf vokal akhir pada setiap kalimat dalam baitnya. Dari contoh tembang pangkur di atas kita bisa perhatikan.

Kalimat pertama di bait pertama: Sekar Pangkur kang Winarna, jika dihitung jumlah suku katanya terdiri dari Se-kar-pang-kur-kang-wi-nar-na = 8a, selanjutnya Lelabuhan kang kangge wong aurip jumlah suku katanya le-la-bu-han-kang-kang-ngge-wong-au-rip = 11i, Ala lan becik punika jumlah suku katanya a-la-lan-be-cik-pu-ni-ka = 8a, Prayoga kawruhana jumlah suku katanya Pra-yo-ga-ka-wruh-ha-na= 7a, Adat waton punika dipun kadulu jumlah suku katanya a-dat-wa-ton-pu-ni-ka-di-pun-ka-du-lu = 12u, Miwah ingkang tatakrama jumlah suku katanya Mi-wah-ing-kang-ta-ta-kra-ma = 8a, Den kaesthi siyang ratri jumlah suku katanya Den-Ka-es-thi-si-yang- ra-tri = 8a.

Jadi rumusannya dalam penulisan baitnya adalah sebagai berikut: Guru gatra: jumlah kalimat tiap bait 7 kalimat; Guru wilangan : jumlah suku kata pada tiap larik yaitu 8, 11, 8, 7, 12, 8, 8 kalimat; Guru lagu : jatuhnya vokal terakhir pada tiap larik yaitu a, i, u, a, u, a.

Penyusunan bait yang berisi teks ajaran, pesan moral dengan aturan yang konsisten dalam memenuhi guru gatra, guru wilangan, maupun guru lagu merupakan kesulitan tersendiri dalam pemilihan kata yang tepat sehingga tersusun dalam sebuah tema dan menjadi teks tentang ajaran dan pesan moral.

Dengan keunikan harus konsisten antara guru gatra, guru lagu dan guru wilangan tersebut akan menjadikan tembang pangkur sebagai contoh salah satu tembang macapat ini menjadi selalu ajeg, konsisten dan tidak berubah. Tidak ada istilah gubahan dalam tembang mocopat itu sendiri.

Sisi keunikan ini tidak ditemukan dalam karya sastra kebudayaan lainnya, namun disisi lain dengan aturan yang baku tentang kaidah jumlah guru gatra, guru wilangan dan guru lagu ini menjadikan para sastrawan muda yang belum banyak memahami dan mendalami sastra Jawa akan kesulitan dalam menyusun bait-bait tembang macapat yang baru.

Sisi keseimbangan dalam sebuah tembang jJawa sebagaimana telah disampaikan dalam contoh tembang pangkur di atas, memberikan keseimbangan dalam sebuah tembang sehingga ketika di nyanyikan dalam sebuah iringan gending akan membentuk sebuah harmoni, keseimbangan yang utuh, sehingga mampu mempengaruhi jiwa si pendengar, mudah diingat, dan mudah pula menangkap pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.

Harmoni adalah kombinasi dari berbagai bentuk yang menciptakan nada. Harmoni memiliki makna positif sehingga semua hal baik dapat diterjemahkan ke dalam harmoni. Semuanya harus selalu harmonis, harmonis, seimbang. Secara etimologis, konsep harmoni secara harfiah berarti nada. Harmoni adalah cara untuk membuat aturan dan bagaimana aturan saling mengikuti.

Harmoni dalam tembang macapat ini memberikan suasana kejiwaan yang khas sesuai dengan pesan moral dalam setiap tembang sehingga mudah di serap olah pendengarnya. Apalagi setiap tembang dalam macapat memiliki tujuan yang khusus sesuai dengan penamaan tembang macapat itu sendiri. (rn1/zal)

Guru Bahasa Jawa SMKN 7 Semarang


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya