28.6 C
Semarang
Wednesday, 8 October 2025

Kemampuan Berpikir Kritis dalam Problem Based Learning

Oleh : Hery Pranowo, S.Pd.Si.

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berawal dari fenomena alam. IPA didefinisikan sebagai pengetahuan yang sistematis dan disusun dengan menghubungkan gejala-gejala alam yang bersifat kebendaaan dan didasarkan pada hasil pengamatan. IPA merupakan cabang ilmu pengetahuan yang dibangun berdasarkan pengamatan dan klasifikasi data serta disusun dan diverifikasi dalam hukum-hukum yang bersifat kuantitatif, yang melibatkan aplikasi penalaran matematis dan analisis data terhadap gejala-gejala alam (Zubaidah dkk, 2017).

Hasil penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) tingkat litersi siswa Indonesia masih rendah. Berdasarkan PISA mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan mengambil kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahannya akibat aktivitas manusia (OECD, 1999) (https://gln.kemdikbud.go.id/).

Keterkaitan berpikir kritis dalam pembelajaran IPA adalah perlunya mempersiapkan siswa agar menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuat keputusan yang matang, dan orang yang tak pernah berhenti belajar (Fahmi, 2020). Pembelajaran IPA sebagai bagian dari proses pendidikan nasional sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri Mengembangkan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Melalui Pembelajaran IPA ilmiah (scientific inquiry), agar mampu menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah, serta mengkomunikasikanya sebagai aspek penting kecakapan hidup (Depdiknas, 2006).

Kemampuan berpikir kritis berhubungan erat dengan literasi sains. Literasi sains dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains (OECD, 2016).

Pembelajaran IPA cenderung masih mengarah pada transfer of knowledge dan berorientasi pada materi yang ada di buku, pembelajaran belum sepenuhnya melatihkan kemampuan berpikir kritis dan kegiatan pembelajaran dengan percobaan di laboratorium lebih menekankan pada pembuktian konsep atau verifikasi, sehingga kurang melatihkan kemampuan berpikir peserta didik. Penyebab rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik antara lain dikarenakan pembelajaran kurang melatih peserta didik untuk terlibat langsung secara aktif dalam pembelajaran dan literasi sains masih butuh ditingkatkan.

Untuk mengatasi permasalahan pada pembelajaran IPA tersebut, SMP Negeri 1 kaligondang kabupaten Purbalingga melaksanakan model pembelajaran inquri terbimbing dan melaksanakan gerakan literasi termasuk literasi sains di dalamnya. Menurut teori tahapan perkembangan kognitif Piaget (Arends, 2008: 327) peserta didik SMP berada pada tahap operasional formal. Meskipun demikian, peserta didik masih memerlukan bimbingan dari guru, sehingga jenis pembelajaran inkuiri yang tepat adalah inkuiri terbimbing (Rizal, 2014; Wisudawati dan Sulistyowati, 2015).

Pembelajaran inkuiri terbimbing terdiri dari tujuh tahapan (Llewellyn, 2013: 7-8), yaitu mengeksplorasi fenomena, memfokuskan pertanyaan, merancang penyelidikan, melakukan penyelidikan, menganalisis data dan bukti penyelidikan, membangun pengetahuan baru, dan mengomunikasikan pengetahuan baru. Berpikir kritis dalam pembelajaran IPA dilaksanakan dengan mempersiapkan siswa agar memahami problem solving, pembuat keputusan, dan manusia pembelajar. Peningkatan literasi sains dan model pembelajaran inquiri dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. (fkp2/ton)

Guru IPA SMP Negeri 1 Kaligondang, Kabupaten Purbalingga


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya