RADARSEMARANG.COM, DALAM pembelajaran Bahasa Jawa ada sebagian besar siswa menganggap bahwa aksara Jawa adalah materi pelajaran yang tergolong sulit dibandingkan dengan materi lainnya.
Dianggapnya sulit karena materi tersebut menuntut kemampuan menghafal sejumlah aksara agar bisa membaca dan menulis kalimat maupun paragraf beraksara Jawa secara benar.
Perasaan ketidakmampuan siswa dalam menghafal sering menjadi beban tersendiri, dan pada ujungnya akan mengakibatkan rasa bosan, kurangnya kegembiraan, dan kurangnya minat dalam belajar.
Menghafal adalah sebuah usaha aktif agar dapat memasukkan informasi ke dalam otak (Chatrine Syarif, 2010:112). Sedangkan menurut Kuswanta (2012:115) bahwa menghafal adalah mendapatkan kembali pengetahuan yang relevan dan tersimpan di memori jangka panjang.
Proses menghafal diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan serius untuk dapat mencapai target tertentu. Namun proses menghafal akan lebih baik jika dibarengi dengan rasa gembira, karena kegembiraan saat belajar dapat menjadi motivasi dalam mengatasi ketidakmampuan.
Kegembiraan dalam pembelajaran hingga menumbuhkan minat tentu saja tidak sekedar menjadikan siswa merasa senang, namun harus tetap terarah menuju tujuan pembelajaran yang diinginkan. Guru sebagai agen pembelajar memiliki peran penting dalam mengatasi kondisi tersebut hingga siswa mampu menyelesaikan kesulitannya.
Guru yang kreatif dapat membuat sendiri model pembelajaran yang diperlukan. Model pembelajaran sebagaimana menurut Azhar Arsy-ad (2011:4) adalah perantara yang membawa pesan atau informasi bertujuan intruksional atau mengandung maksud pengajaran antara sumber dan perantara.
Metode “itik” yaitu Ilmu Titen Kooperatif menjadi solusi yang diharapkan dapat mempermudah siswa dalam menghafal aksara Jawa sekaligus menyenangkan. Ilmu Titen adalah ilmu tradisional Jawa berupa kepekaan terhadap tanda-tanda atau ciri-ciri alam.
Ilmu titen biasanya digunakan untuk membaca gejala alam yang mendahului datangnya bencana (wikipedia). Sedangkan kooperatif adalah model pembelajaran yang menekankan pada saling ketergantungan positif antar individu siswa, adanya tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi intensif antar siswa, dan evaluasi proses kelompok (Arif Rohman, 2009:186).
Menghafal aksara Jawa dengan “itik” juga dilakukan oleh siswa SMP Negeri 2 Kandangan Temanggung. Proses pembelajaran diawali dengan mengelompokkan siswa menurut kemampuan hafalan. Misal pada tahap menghafal aksara legena (ha sampai nga), siswa terbentuk menjadi 4 kelompok berjenjang sesuai kemampuan masing-masing berdasarkan banyaknya baris aksara legena yang dihafal.
Masing-masing kelompok berdiskusi niteni atau membicarakan ciri-ciri bentuk dari aksara Jawa yang belum dihafal. Misalnya dengan berimajinasi secara bebas bahwa ada aksara Jawa yang berwujud menyerupai gunung, telur, cucuk (paruh), kaki, kucir, huruf R, dada, dan sebagainya. Atau mengelompokkan aksara Jawa berdasarkan kemiripan bentuk, kebalikan bentuk, maupun potongan bentuk dengan aksara lainnya.
Tiap anggota kelompok wajib mengutarakan imajinasi dari baris aksara yang dipelajarinya secara bergantian, sehingga terjadi komunikasi intensif antar siswa dan kadang muncul candaan-candaan yang mewarnai suasana menjadi lebih gembira. Siswa yang sudah berhasil menghafal tidak boleh berpindah kelompok level diatasnya sebelum ada satu teman lain yang sama hafal.
Begitu pula tidak boleh ada satu anggotapun yang tertinggal sendiri dalam kelompok. Sehingga terjadi ketergantungan positif dalam proses pembelajaran. Langkah berikutnya guru dapat meningkatkan target hafalan yang lain, misalnya; pasangan, sandhangan, mandhaswara, angka, aksara swara, aksara rekan, aksara murda, maupun tandha pangkat.
Bagi siswa yang paling cepat dan paling sering berpindah kelompok level diatasnya akan mendapatkan reward atau hadiah, sedangkan kedua siswa yang tertinggal atau berada pada kelompok level terbawah maka akan diberi hukuman, misalnya harus menyanyi di depan kelas.
Penggunaan metode “itik” dalam pembelajaran menghafal aksara Jawa memperlihatkan bahwa siswa lebih mudah dan lebih aktif sekaligus merasa gembira. Pembelajaran yang aktif dengan kesadaran sendiri menunjukkan minat para siswa untuk mencapai hasil dari tujuan pembelajaran.
Tercapainya tujuan pembelajaran ini tampak dari cepatnya siswa berpindah kelompok level diatasnya, yang berarti bahwa siswa merasakan mudah dalam menghafal aksara Jawa. (fkp1/zal)
Guru SMPN 2 Kandangan