RADARSEMARANG.COM, Duh..duh, kelasnya seperti kapal pecah. Anak-anak ada yang bermain lempar bola di dalam kelas sehingga mengenai lampu dan akhirnya lampupun pecah. Ada lagi yang asyik ngobrol sendiri dengan temannya. Tapi, ada juga anak yang memperhatikan guru menyampaikan mata pelajaran di depan kelas. Wah wah, ada juga anak yang mencari kutu di kepala temannya.
Tapi guru pun tetap meneruskan pelajarannya tanpa peduli keadaan kelas yang hanya beberapa anak yang bisa konsentrasi atau bahkan menghargai guru yang sedang berbicara. Ternyata, bu guru sudah sering menasihati anak-anak bagimana sikap ketika belajar di kelas, bagaimana sikap menghormati guru, bagiamana sikap belajar yang baik, dst. Tapi ibu guru pun bosan menasehati murid-muridnya lagi. Seperti tidak ada hasil.
Bagi sebagian besar guru mengalami kesulitan ketika murid-murid membuat masalah dengan guru ataupun dengan temannya. Tingkah anak-anak seperti ini berkaitan dengan kedisplinan yang kadang guru mengabaikan begitu saja, walaupun seorang guru tidak seharusnya mengabaikannya.
Mengapa ada guru yang kadang mengabaikan murid-muridnya dalam masalah kedisiplinan? Karena mereka berprinsip bahwa hakekat guru adalah ingin mengajar bukan mendisiplinkan. Bahkan ketika harus mendisiplinkan murid maka ada perasaan guru tidak mampu mengajar. Guru akan mencapai kepuasannya ketika melihat muridnya belajar sesuatu.
Tapi banyak juga guru yang menghabiskan waktunya hanya untuk menegakkan disiplin dalam kelas. Sampai kadang waktu untuk menyampaikan materi tidak terlaksana. Ini karena sulitnya untuk menjadikan murid-muridnya disiplin. Mengapa demikian? Karena pada umumnya guru terlalu menekankan tegaknya disiplin dengan cara memberikan ancaman hukuman, bahkan menghukum. Atau mempermalukan secara lisan, menyalahkan di depan teman-temannya. Cara-cara seperti ini tidak akan membawa kemajuan dalam disiplin.
Metode-metode yang digunakan dengan cara kekuasaan dan bersifat represif biasanya menimbulkan pemogokan, pembangkangan, dan pemberontakan. Lantas, bagaimana cara menegakkan kedisiplinan? Seorang guru harus banyak belajar untuk tidak menjadikan murid-muridnya sebagai robot. Seorang guru harus banyak belajar musyawarah untuk menghargai pendapat orang lain.
Wah..wah.. apakah dengan anak didiknya juga harus musyawarah? Apalagi anak sekolah dasar? Eit, jangan dikira ya, mereka juga manusia yang punya otak, punya potensi untuk berpendapat. Maka dari itu dalam penentuan kebijakan kelas, penentuan peraturan kelas, dan kedisiplinan bukan hanya ditentukan oleh penentu seorang guru saja, tapi murid harus dilibatkan.
Ketika peraturan kelas dihasilkan dari hasil musyawarah dengan para murid, maka mereka akan merasa peraturan-peraturan tersebut sebagai tata tertib mereka sendiri, bukan hanya tata tertib yang diputuskan oleh gurunya saja. Keuntungan dari musyawarah ini, juga akan mengurangi waktu guru dari keharusan bertindak sebagai seseorang pemberlaku tata tertib.
Guru harus banyak belajar tentang metode tanpa kekuasaan untuk menegakkan disiplin dan peraturan. Ketika guru sudah terampil dalam penggunaan metode ini, yaitu metode tanpa kekuasaan insya Allah kata-kata ancaman, memberi perintah, hukuman, mengatur, menghardik, memerintah, menuntut, akan hilang dengan sendirinya. Untuk mengganti kata-kata di atas, guru harus belajar menggunakan kata-kata misalnya, pemecahan masalah, penyelesaian konflik, memenuhi kebutuhan, kolaborasi, kerjasama, dan sejenisnya.
Coba seandainya metode mendisiplinkan murid-murid kita bukan metode kekuasaan dan otoritas, seperti halnya hubungan cinta antara suami dan istri, atau hubungan dengan sahabat maka seorang guru pasti akan memberlakukan kesiplinan dengan metode kekuasaan. Maka dari itu hubungan cinta antara guru dan murid adalah solusi untuk mendisiplinkan pembelajaran di kelas dengan menghilangkan hubungan kekuasaan dan otoritas. (bk1/ton)
MI Ma’arif Mangunsari Salatiga