28 C
Semarang
Monday, 16 June 2025

Kami dan Kita Samakah?

Oleh : F.X. Juhartono, S.Pd.,M.M

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Ada hal yang menarik ketika orang mengucapkan penggunaan “kami” dan “kita” dalam tutur sehari-hari. Banyak para pesohor yang menggunakan kedua kata tersebut dengan terbalik, tertukar. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “kami” 1 yang berbicara bersama dengan orang lain (tidak termasuk yang diajak berbicara); yang menulis atas nama kelompok, tidak termasuk pembaca; 2 yang berbicara (digunakan oleh orang besar, misalnya raja); yang menulis (digunakan oleh penulis), sedangkan kata “kita” diartikan sebagai 1pronomina persona pertama jamak, yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak bicara; 2saya.

Dari pengertian “kami” dan “kita” tersebut, ada perbedaan dari keduanya. Pengertian “kami” adalah yang berbicara tetapi tidak termasuk yang diajak berbicara. Sedangkan “kita” adalah yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak berbicara.
Fenomena di masyarakat antara keduanya digunakan secara tertukar, atau disamakan. Ketika ditanya oleh wartawan mengenai perkembangan kasus penelantaraan anak-anak oleh sepasang suami istri, seorang polisi menjawab, ”Kita sudah memeriksa kedua orang bersangkutan tadi malam, dan kita terus lakukan pemeriksaan hari ini sampai selesai sebelum masa 1x 24 jam. “Kita bisa merasakan keganjilan penggunaan kata “kita” tersebut. Seharusnya juru bicara kepolisian menggunakan kata “kami”, bukan “kita”. Karena si wartawan yang diajak bicara tidak termasuk di dalam pekerjaan menyidik dari pihak kepolisian.

Ketika guru bertanya kepada siswa tentang tugas yang diberikan, “Apakah tugas kalian sudah selesai?” Siswa menjawab,”Kita sudah selesai Pak”. Dari tanya jawab guru dengan siswa tersebut ada hal yang terasa janggal juga dengan jawaban siswa.
Penggunaan kata “kita” tersebut seolah-olah guru yang diajak berbicara, termasuk bagian dari kelompok siswa. Siswa tidak menyadari bila “guru” yang bertanya bukan bagian dari anggota kelompoknya. Kalau guru bukan bagian dari kelompoknya, seharusnya si anak menjawab,” Kami sudah selesai Pak”.
Beberapa contoh lain kesalahan penggunaan kata “kita yang seharusnya memakai “kami” misalnya pada penjelasan polisi pasca terangkapnya artis AA sebagai PSK,” Kita akan sidik mucikari dan pelanggan potensinya”. “Kita belum memeriksa yang lain selain AA”. Juga penjelasan salah satu pejabat kabareskrim tentang tertangkapnya seorang perwira direktorat tindak pidana narkoba yang menerima suap,”Kita memang ingin bersih-bersih.”

Ada juga temuan penggunaan kata ‘kita” yang tertukar,”Tapi kita enggak tahu (itu penyadapan atau rekaman),” yang disampaikan oleh mantan Kapolri Badrodin Haiti. “Kita hanya negosiasi dengan (Kementerian) Energi dan Sumber Daya Mineral.” kata Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama. “Kita melihat tidak ada urgen di situ, orang ngobrol seperti di warung kopi.” kata mantan Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

Dari contoh-contoh tersebut, betapa seringnya pemutarbalikan pemakaian kata “kami” dengan “kita” atau sebaliknya. Nampaknya hal yang sepele, namun harus kita sadari, kalau bukan kita sendiri yang memelihara penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, siapa lagi.

Kebiasaan (yang salah) menggunakan kata “kita” cukup sering dilakukan. Kita juga kehilangan kepekaan daya kritis terhadap “penyimpangan” pemakaian kata “kita” dan “kami. Akhirnya, perbedaan antara “kita” dan “kami” semakin lama semakin kabur.

Dalam linguistik, pembedaan kata ganti inklusif “kita” dan eksklusif “kami” ini dikenal dengan istilah “clusivity” atau “klusivitas”. Klusivitas lazim ditemukan pada bahasa-bahasa yang termasuk rumpun bahasa Austronesia. Termasuk Indonesia, tetapi tidak pernah ditemukan pada bahasa-bahasa Eropa di luar Kaukasus. Seperti bahasa Inggris dengan “we”-nya dan bahasa Belanda dengan “wij”-nya.

Sebenarnya sederhana penggunaan kata “kita” dengan “kami”. Kalau “kita” digunakan bila yang diajak berbicara bagian dari isi pembicaraan, namun jika akan menggunakan kata “kami”, pastikan yang diajak berbicara bukan bagian dari yang bicara. (ips1/lis)

Guru Bahasa Indonesia SMPN 9 Semarang.


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya