RADARSEMARANG.COM, Video pembelajaran menjadi salah satu primadona bahan ajar selama masa pandemi. Guru dapat menugaskan siswa mengamati video di kanal YouTube atau di media lain. Video tersebut hasil produksi orang (guru) lain atau buatan guru yang bersangkutan. Sagusavi merupakan jargon dalam proyek-proyek pelatihan untuk menggiatkan guru membuat video pembelajaran. Sagusavi kependekan dari satu guru satu video. Menurut penulis, dengan cara itu video hanya dihasilkan oleh guru-guru yang mengikuti pelatihan (yang jumlahnya relatif sedikit). Guru-guru yang lain, belum tentu atau kebanyakan tidak membuat video. Hal ini belum sepenuhnya mewujudkan tujuan sagusavi. Dengan kata lain sagusavi baru berupa jargon “elitis” namun belum membumi untuk “khalayak”.
Tulisan ini memaparkan strategi penulis dalam “membumikan” sagusavi. Pertanyaannya adalah : bagaimana semua guru baik yang ikut pelatihan maupun yang tidak dapat menghasilkan video pembelajaran? Strategi tersebut dilaksanakan penulis di SMA 5 Semarang sebagai implementasi RPK (Rencana Proyek Kepemimpinan) Diklat CKS. Tahapannya adalah : 1) Membagikan angket secara online pada seluruh guru, untuk pemetaan minat dan potensi produksi video, 2) Membagi guru dalam 2 kelompok yaitu kelompok A dan kelompok B, 3) Melaksanakan pelatihan bagi guru kelompok A, 4) Membagi kelompok A dalam tim-tim produksi (3 orang per tim), 5) Membagi kelompok B menjadi tim-tim pengisi konten video, 6) Memproduksi video sesuai jadwal tim, 7) Mengunggah video. Video diunggah dengan fasilitas Google Photos, untuk mengatasi persoalan kuota jika memakai kanal YouTube atau Google Drive. Evaluasi hasil video dilakukan dengan 2 cara. Pertama, melalui angket online siswa yang berisi pendapat tentang kualitas video, aspek student wellbeing dan saran perbaikan. Kedua, penilaian video oleh instruktur pelatihan yang fokus pada tata suara, tata cahaya, kreativitas dan penyampaian materi.
Hasil kegiatan pada siklus I adalah tercapai 30 % guru mengunggah video, respon siswa positif dengan rerata skor 92 untuk kualitas video, 96 untuk student wellbeing. Rerata skor penilaian dari instruktur pelatihan adalah 84. Adapun Hasil refleksi pada siklus I antara lain : masih sangat padatnya agenda (tugas) sekolah lainnya sehingga perlu penyesuaian jadwal personil dan bahkan beberapa guru tidak dapat membuat video, suara latar yang menganggu penjelasan guru, durasi video yang terlalu panjang, serta kurang pedulinya beberapa guru untuk menyukseskan program. Hasil pada siklus II terjadi peningkatan produksi menjadi 73 % dari target. Respon siswa positif dengan rerata skor 95 untuk kualitas video, 97 untuk student wellbeing. Rerata skor penilaian dari instruktur pelatihan adalah 88. Hasil-hasil positif tersebut selaras dengan testimoni beberapa siswa dan guru melalui rekaman percakapan. Berdasarkan respon bebas siswa ditemukan bahwa siswa lebih menyukai video buatan guru sendiri daripada sekedar ditugaskan membuka video lain di kanal YouTube. Selain itu siswa tidak menyukai video yang lebih dari 10 menit.
Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa video pembelajaran yang dibuat guru melalui proyek ini telah memenuhi 4 fungsi media yaitu fungsi atensi, afektif, kognitif dan fungsi kompensatoris (Azhar Arsyad, 2013:20). Dengan model ini maka pada siklus-siklus berikutnya dapat diharapkan mencapai 100 %. Dengan demikian produksi video pembelajaran dapat dibiasakan untuk semua guru baik yang mengikuti pelatihan maupun yang tidak. Kata kunci suksesnya program ini kolaborasi internal antar warga sekolah. Kolaborasi internal yang efektif bermanfaat dalam : membangun saling percaya, semangat gotong royong, refleksi diri, mengubah kebiasaan pembelajaran parsial, menguatkan konsistensi dan membudayakan praktek kolaborasi (Wawan Setiawan dkk, 2020:62). (lbs1/ton)
Guru SMA N 5 Semarang, Peserta Diklat Calon Kepala Sekolah.