RADARSEMARANG.COM, TEMBANG Macapat merupakan khazanah budaya bangsa Indonesia. Di dalamnya mengandung ajaran tatanan kehidupan agar manusia memiliki budi pekerti luhur. Para pujangga bangsa Indonesia dahulu telah banyak menciptakan karya yang bernilai dan menjadi tauladan. Karena mengandung petuah dalam menciptakan tatanan kehidupan manusia.
Sayangnya, pemahaman tentang tembang Macapat sangat rendah, baik dari sisi pengertian, tata aturan, maupun pemahaman maknanya. Karena mayoritas menggunakan bahasa Jawa klasik dan sering menggunakan kata-kata kiasan (sanepa). Itulah kehebatan para leluhur bangsa Indonesia melalui karya cipta menuntun kecerdasan daya pikir untuk menemukan nilai-nilai luhur yang bermanfaat. Terutama untuk menata dan menuntun sikap manusia dalam ekistensinya sebagai diri pribadi, insan sosial, dan insan spiritual untuk diimplementasikan dalam kehidupan nyata.
Yang memprihatinkan, generasi muda bangsa Indonesia saat ini kurang berminat terhadap tembang Macapat. Apalagi memahami isi dan makna yang tersirat dan tersurat sebagai roh karya luhur. Gambaran ini tersirat dari pernyataan, “tuntunan sabagai tontonan” bukan “tontonan sebagai tuntunan”.
Rendahnya pemahaman terhadap karya tembang Macapat, khususnya di dunia pendidikan baik dari sisi pendidik maupun peserta didik, menyebabkan produktivitas karya. Khususnya tembang Macapat menjadi minim. Kondisi ini memungkinkan akan semakin terkikis habis dan hilang, karena tidak terkonservasi di dalam jiwa generasi muda.
Salah satu cara untuk melestarikan warisan budaya luhur berupa tembang Macapat yang sarat dengan nilai yaitu menganalisa secara kritis, memahami karakterisitik setiap tembang macapat dengan aturan-aturan yang sudah pasti. Yaitu adanya guru wilangan (jumlah suku kata setiap baris), guru lagu (sajak), guru gatra (jumlah baris), serta kemampuan memahami sifat dan watak setiap tembang Macapat. Terpenting adalah kemampuan memperoleh kemudian menerapkan pesan moral yang terkandung di dalamnya.
Berpedoman dasar aturan tersebut, sangat perlu diterapkan serta dilaksanakan dalam pembelajaran agar peserta didik berlatih menciptakan karangan dengan merangkai kata secara tepat (cipta pangripta ukara) sesuai tingkatan pendidikan. Hal ini dibutuhkan untuk penambahan dan penguasaan kosa kata. Hal ini mendorong peserta didik lebih giat belajar dan aktif menemukan inspirasi dari berbagai sumber, baik pustaka, media sosial, internet, nara sumber, dan lainnya. Dalam perkembangannya, peserta didik dapat memahami secara detail tentang tembang Macapat. Terutama terbangun karakter atau perilaku serta bisa mendidik bangsa melalui karya cipta yang bernilai tinggi.
Hasilnya, praktik berlatih mencipta berbagai tembang Macapat, mampu merangsang daya analisis peserta didik dalam menciptakan karya. Bahkan, sejak dalam proses memilih, menggunakan kata-kata, serta merangkai kata menjadi kalimat yang halus dan penuh makna. Secara otomatis, terjadi proses pembelajaran dalam bentuk penyerapan pengetahuan, pembentukan keterampilan, pemahaman berbagai aturan karya, kepekaan jiwa. Ini akan terjadi proses konstruktif diri secara luas. Bahkan, secara psikologis menumbuhkan nilai-nilai sikap dan kepekaan jiwa yang berguna dalam pembentukan pribadi. Terutama sebagai insan individu, insan sosial, insan spiritual yang bertanggung jawab dan berbudi pekerti luhur sebagai warga negara. (*/ida)
Guru SDN Jatibarang 03, Kecamatan Mijen, Kota Semarang.