RADARSEMARANG.COM, Menurut Mendikbud Nadiem Makarim, seperti sering diungkapkan pada berbagai kesempatan, ujian nasional (UN) akan diganti dengan asesmen kompetensi minimum (AKM). Ini merupakan program penilaian terhadap mutu setiap sekolah, madrasah dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah. AKM sebagai sumber informasi untuk memetakan dan mengevaluasi mutu sistem pendidikan, akan mendorong siswa untuk belajar lebih aktif dan menyenangkan.
Selama ini, sekolah cenderung memfokuskan perluasan pengetahuan pada siswanya. Sedangkan asesmen nasional berfokus pada tolo ukur kemampuan murid untuk menggunkan dan mengevaluasi pengetahuan yang di peroleh dari beragam materi kurikulum untuk merumuskan serta menyelesaikan masalah.
Kita masih ingat. Dulu, ketika kelulusan ditentukan oleh ujian Nasional (UN) dan Persentase Nilai rapor yang melibatkan variabel nilai rapor kelas III, pihak sekolah menyiasati agar semua siswa lulus dengan memberi siswa “bekal” berupa nilai bagus pada rapor siswa kelas III. Terjadilah apa yang disebut penyulapan nilai rapor. Dengan siasat itu, siswa yang berkemampuan kritis akan tetap dapat lolos meski nilai ujian nasionalnya (UN) jeblok.
Asesmen Nasional menghasilkan informasi untuk memantau perkembangan mutu dari waktu ke waktu, dan kesenjangan antarbagian di dalam sistem pendidikan. Misalnya kesenjangan antar kelompok sosial ekonomi dalam satuan pendidikan, kesenjangan antar ekolah swasta dan negeri di suatu wilayah, atau kesenjanagan antarkelompok berdasarkan atribut tertentu. Asesmen Nasional juga tidak menggantikan Ujian Nasional (UN) karena pada dasarnya asesmen nasional tidak menentukan kelulusan. Asesmen nasional diberikan kepada murid bukan di akhir jenjang satuan pendidikan, dan juga tidak digunakan untuk menilai peserta didik yang menjadi peserta asesmen, karena hasil asesmen akan dijadikan dasar perbaikan pembelajaran. Dengan demikian asesmen penilaian tidak terkait dengan kelulusan peserta didik. Penilaian untuk kelulusan peserta didik merupakan kewenangan pendidik dan satuan pendidikan. Jadi semua siswa akan lulus 100%, tapi kalau standar pembelajaran yang didapatkan begitu rendahnya, sekolah harus siap menanggung label sebagai sekolah berkualitas rendah.
Tapi terbukti, dengan adanya kebijakan tersebut, banyak sekolah yang mempersiapkan untuk mengikuti AKM, karena pada dasarnya asesmen nasional bertujuan tidak hanya memotret hasil belajar kognitif murid namun juga memotret hasil belajar sosial emosional, sikap, nilai, keyakinan serta perilaku yang dapat memprediksi tindakan dan kinerja murid di berbagai konteks yang relevan. Pertanyaannya sekarang, mampukah kebijakan asesmen kompetensi minimum itu bisa mengantarkan bangsa Indonesia kepada kondisi yang makin maju dalam hal kualitas SDM-nya? Jawabannya adalah bisa, tapi dengan sejumlah syarat.
Syarat pertama, kemampuan siswa dalam mata pelajaran yang diujikan itu bisa merepresentasikan semua kemampuan siswa sebagai hasil belajarnya. Artinya, kalau nilai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika tinggi berarti secara keseluruhan kemampuan siswa dapat dikatakan tinggi. Begitu pula sebaliknya. Syarat kedua, semua orang tua, siswa, guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan kota/kabupaten dan stakeholder pendidikan adalah orang-orang yang jujur, obyektif, terbuka dan siap menerima hasil asesmen nasional apa adanya, sehingga akan dievaluasi kembali agar sistem pembelajaran di satuan pendidikan lebih bagus. Syarat ketiga, tim pemantau independen (TPI) dapat berfungsi dengan baik. Tugas TPI adalah menjamin agar pelaksanaan Asesmen Nasional berjalan fair, obyektif dan jujur. Dengan terpenuhinya ketiga syarat di atas, mungkin saja niat pemerintah untuk mendongkrak kualitas SDM dengan instrumen Asesmen Ketentuan Minimum (AKM) sebagai tool pengontrolnya akan menjadi kenyataan. Semoga. (gb1/ton)
Guru MI Salafiyah Gombong, Pecalungan, Batang.