RADARSEMARANG.COM, UNTUK menumbuhkan minat peserta didik dalam pembelajaran sejarah budaya, dapat dilakukan dengan cara menggali bahan ajar dan minat siswa dalam mewujudkan ekspresi kemampuan seni. Setiap manusia pada hakekatnya mempunyai kecerdasan emosional (EQ). Peserta didik sifatnya heterogen dan unik. Pengajar perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk beraktualisasi dalam hal seni dalam pembelajaran sejarah budaya. Contohnya dengan model–model pembelajaran Problem Based Introduction (PBI), role playing, membuat karya sastra dan seni sejarah budaya (puisi, cerpen, novel, kartun, komik dan sebagainya).
Contoh yang pernah penulis terapkan pembelajaran sejarah budaya dalam materi IPS kelas VII di SMP Negeri 3 Semarang yaitu materi perkembangan sejarah dan kebudayaan Islam di Indonesia dengan model PBI yaitu pembelajaran berbasis masalah yang kegiatan pembelajaran menerapkan dan menganalisis masalah perkembangan sejarah dan kebudayaan Islam di Indonesia. Untuk menghubungkan berbagai fakta historis culture melalui studi pustaka atau internet, diskusi kelompok dan presentasi seperti pemberian tugas siswa tentang hubungan antara sejarah budaya Islam di Kota Semarang. Dengan peristiwa dugderan, peranan etnis China masa Cheng Ho dalam penyebaran agama Islam di Kota Semarang abad ke-18. Membandingkan ciri–ciri bentuk candi Hindu-Budha dan masjid peninggalan budaya Islam di Provinsi Jateng.
Langkah–langkah PBI, pertama, memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih dengan cara mengajuan pertanyaan atau masalah. Kedua, guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll). Dengan berfokus pada keterkaitan antardisiplin dan penyelidikan autentik. Ketiga, caranya mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis, dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpul dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Keempat, caranya menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata. Produk tersebut bisa berupa laporan, model fisik, video, gambar yang akan dijelaskan kemudian, tentang apa yang mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah. Kelima, dengan cara kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah diceritakan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil.
Inovasi pembelajaran sejarah budaya dapat dikembangkan secara lebih luas menyesuaikan kemampuan dan sarana yang tersedia. Penggunaan electronic learning dapat dikembangkan dalam website yang bisa diakses siswa di manapun dan kapanpun. Pembuatan media yang telah dilakukan guru dan upload di internet telah memperkaya bahan ajar guru seluruh Indonesia bahkan dunia. Penulis yakin bahwa pembelajaran sejarah budaya yang mengedepankan oral atau ceramah di kelas akan berkurang drastis. Guru tinggal mengajak tanya jawab dan diskusi dengan siswa di kelas. Komunikasi antargurupun akan menjadi intensif. Contohnya guru yang ada di Maluku memberikan contoh objek sejarah budaya di Maluku, demikian halnya yang di Medan atau Surabaya. Ini benar–benar akan menjadikan pembelajaran sejarah budaya penuh makna dan variatif. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan guru IPS kurang waktu dalam mengajar IPS. Hal ini dapat dilakukan kalau guru mempunyai paradigma bahwa pusat pembelajaran adalah siswa bukan guru. (ips1/ida)
Guru IPS SMP Negeri 3 Semarang