RADARSEMARANG.COM, SEMBOYAN negara Bhinneka Tunggal Ika yang tertuang pada pasal 36 A Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 digali dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Ini merupakan landasan fundamental bangsa Indonesia. Persatuan yang kokoh dengan semboyan tersebut harus digunakan untuk menghadapi tantangan yang berbeda dari tiap zaman, seiring dengan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemahaman terhadap kebhinnekaan di berbagai tempat juga masih terbatas pada teori sehingga lebih ke arah pengetahuan saja atau civic knowledge (Winarno, 2013). Demikian juga yang terjadi di MAN 1 Kota Semarang. Selama ini, pembelajaran tentang kebhinnekaan masih terbatas pada ceramah dan tanya jawab sehingga peseta didik merasa bosan, dianggap teoretis, dan tidak mengalami secara nyata. Peran pendidik melalui penanaman nilai-nilai kebhinekaan dapat membentuk peserta didik yang memiliki kualitas dalam mengembangkan toleransi, kesabaran, dan memelihara kebiasaan berbagi. Dengan demikian, nilai kebhinnekaan/multikultural merupakan nilai (sesuatu yang essensial) yang dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan perilaku yang baik atau tidak baik dalam kehidupan masyarakat sebagai bekal untuk mengantisipasi dan mencegah penyebaran paham radikalisme, yang bisa berujung kepada tindakan terorisme.
Berdasarkan latar belakang di atas, perlu merancang kegiatan pembelajaran yang mampu mengembangkan kompetensi, baik dalam ranah kognitif maupun ranah afektif. Strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan penciptaan suasana yang menyenangkan sangat diperlukan untuk meningkatkan keaktifan peserta didik dalam mata pelajaran PPKn. Melalui pendekatan Berbagi, Bercerita, dan Merasakan Kebhinnekaan (BBM) kebhinnekaan sebagai upaya pencegahan tindakan intoleransi dan radikalisme pada tumbuh kembang anak di MAN 1 Kota Semarang.
Untuk melaksanakan BBM, perlu diselenggarakan tiga kegiatan yaitu, 1) Livina atau live in kebhinnekaan yaitu bertempat tinggal sementara untuk memperoleh pengalaman dan ilmu dapat dilaksanakan di madrasah, perkampungan ataupun rumah orang keluarga yang berbeda dengan kita seperti berbeda agama, etnis, suku, dan atau golongan. Tempat yang akan ditinggali peserta didik selama waktu tertentu (dua atau tiga hari, semakin lama semakin baik) dipilih oleh guru. 2) Sambung rasa merupakan sebuah forum untuk saling mengungkapkan pengalaman (berbagi, bercerita atau mengomunikasikan) pengalaman selama livina. Model sambung rasa dengan presentasi di kelas oleh peserta didik menghadirkan tokoh umat beragama untuk pelurusan dan refleksi komitmen bersama. 3) Peserta didik anjangsana dan dialog informal kebhinnekaan dengan Panti Wreda Pucang Gading, untuk mendengarkan cerita tentang pengalaman kebhinnekaan penghuni panti dan kegiatan selama di panti yang berbeda latar belakang sosial, agama, budaya atau etnis sehingga peserta didik memiliki rasa simpati, empati, dan toleransi. Dengan ketiga kegiatan tersebut, diharapkan tindakan intoleransi dan radikalisme dapat disikapi dengan baik.
Implementasi BBM kebhinnekaan dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi kebutuhan dan dukungan pihak terkait sehingga dapat dilaksanakan dengan tepat seperti di keluarga yang berbeda dengan latar belakang dengan peserta didik atau komunitas akan memberikan pengalaman yang berharga bagi peserta didik.
Setelah peserta didik mengikuti serangkaian kegiatan livina, sambung rasa, dan anjangsana maka, diperoleh hasil yaitu, 1) terdapat pandangan dan sikap atau perilaku yang kuat dengan menumbuhkembangkan penghargaan terhadap toleransi, tenggang rasa, dan kepedulian terhadap orang yang berbeda latar belakang agama atau etnis. 2) Peserta didik dapat memahami dalam bersikap dan berperilaku sesuai norma masyarakat. 3) Peserta didik mampu menceritakan pengalaman pribadi tentang penghargaan terhadap kebhinnekaan. (ips1/ida)
Guru PPKn MAN 1 Kota Semarang, email chomsatun14@gmail.com