RADARSEMARANG.COM, Sudah setahun, sebanyak 67 KK warga Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Semarang Utara tinggal di rumah bedeng. Mereka hidup memprihatinkan di tempat sempit, kumuh, dan banyak tikus. Warga tidak tahu sampai kapan tinggal di tempat yang kurang layak tersebut.
IDA FADILAH, Radar Semarang
TANGGAL 9 Mei 2020 lalu, tepat setahun 67 kepala keluarga (KK) warga Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara digusur. Mereka harus tersingkir dari bantaran sungai Banjir Kanal Timur, yang dilakukan normalisasi. Sebagai gantinya, warga menempati rumah bedeng di bawah jembatan Arteri Yos Sudarso, tak jauh dari lokasi.
Setahun tinggal di rumah bedeng, kondisi warga semakin memprihatinkan. Mereka tinggal di tempat seadanya. Bangunan berdinding triplek dan atap seng galpalum. Jika hujan deras, suaranya berisik. Juga suara bising kendaraan yang melintas di atas jembatan Arteri Yos Sudarso. Bahkan, terkadang kerikil jatuh ke atap seperti hujan es batu.
Ketua RT setempat Fadilah mengatakan, meski kini tinggal di rumah bedeng di bawah jembatan, warganya masih bersyukur. Ketimbang tinggal di tenda darurat, ataupun direlokasi di rumah susun yang jauh dari kampung ini.
Diceritakan Fadilah, pasca digusur 9 Mei 2019 lalu, tepat sebelum lebaran, rumah mereka hancur. Warga harus tinggal di tenda darurat. Malam harinya hujan lebat dan semua basah kuyup. Ditambah rob tinggi. Hati semakin teriris. Barang berharga mereka tak bisa diselamatkan. Ketika mendapatkan bantuan rumah bedeng, semua bisa tersenyum. Awalnya, bedeng ini los, tidak ada sekat. Setiap kali ingin buang air besar, tas dan barang berharga yang dimiliki harus dibawa, karena tak ada tempat untuk menyimpan. Ibu-ibu menangis, anak-anak rewel. Seiring berjalannya waktu, warga iuran. Bergotong royong membuat sekat dari triplek. Bedeng dibagi rata. Semua mendapatkan ruangan ukuran 2x 3 meter. Tak peduli memiliki anak berapa. Tak peduli memiliki barang sedikit atau banyak. Semua rata.
“Di sini ada 67 KK, tapi secara keseluruhan ada 97 KK yang terkena gusur. Di sini cuma ada tiga bedeng, itupun masih nambah sendiri. Jadi, yang merasa kecukupan atau bisa tinggal di rumah saudara ya gak tinggal di sini,” jelasnya.
Di tengah pandemi Covid-19, kebanyakan warga kehilangan pekerjaan. Nelayan sulit menjual hasil tangkapan. Ibu-ibu pemilah ikan juga kehilangan pekerjaan, karena sepi pembeli. Belum dampak yang lain. Anak-anak yang tidak masuk sekolah, menyebabkan warga setempat yang menjadi pedagang keliling tak bisa berjualan. Pemberitahuan kegiatan bongkar muat di pelabuhan juga tidak beroperasi. Semua warga Tambakrejo yang bekerja di pelabuhan pun menganggur. Hanya bantuan yang bisa diandalkan. Beberapa masih ada yang menjadi tukang ojek online dan pekerja bangunan.
Salah satu warga Juminten, 42, menceritakan, bagaimana ingatannya dulu pascarumahnya rata dengan tanah. Diguyur hujan. Perkakas hilang. Semua menjadi beban. Saking kagetnya rumahnya digusur, ia pingsan. Juminten sempat dilarikan ke RSI Sultan Agung. Tidak ada barang yang tersisa. Ia sangat sedih dan shock. Pesawat televisi yang dimiliki juga hancur karena tak sempat mengamankan. Sepeda motor masih punya walaupun sering rusak. Yang paling pedih ketika melihat anaknya yang kaget bukan kepalang saat pulang sekolah mengetahui rumahnya telah digusur. Membayangkan saja sulit.
“Barang-barang sudah hancur. Sudah tidak punya lagi. Kena gusur semua. Dulu sudah dikasih tahu sih, mau dikasih tempat, tapi ruangannya kecil kayak kandang bebek kan pada gak mau. Tiba-tiba langsung digusur, disuruh pergi. Kalau sekarang, yang dipunya hanya baju. Itupun dapat bantuan dan sumbangan relawan,” ceritanya saat ditemui RADARSEMARANG.COM di rumah bedeng.
Hingga saat ini, yang membuatnya masih sedih adalah ketika mengingat saat anak-anaknya minta dibelikan baju baru lebaran lalu. Keadaan suaminya yang sudah tidak kerja empat bulan karena diberhentikan akibat pandemi, membuat keluarga kecilnya tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kalau diingat-ingat stres mbak, nangis sendiri. Tahun kemarin bisa beli kue ya bu, kok ini gak punya apa-apa. Kalau dibilangin begitu, ibu nangis mbak,” jelasnya sambil meneteskan air mata.
Kesedihaan ditambah lagi dengan keinginan anaknya setiap bangun tidur untuk minta jajan. Karena itu, terkadang saat mendapatkan bantuan, ia memilih menjualnya biar punya uang. Jaga-jaga saat anaknya minta jajan.
Meski sudah memiliki tempat berlindung sementara, Juminten kerap gemas dengan tikus-tikus yang sering menggigit. Saat melihat keadaan kamar, sangat tidak karuan. Di ruangan yang sempit itu harus muat almari baju, magic com, buku-buku sekolah, sepatu dan barang lainnya. “Kaki saya pernah digigit tikus. Di sini banyak tikusnya. Besar-besar,” keluhnya.
Bagi Fadilah maupun Juminten, trauma healing bagi anak-anak relatif mudah. Karena ibaratnya dikasih jajan sudah lupa. Berbeda dengan ibu-ibu yang merasakan beban lebih berat. Kesalahan anak dan suami karena tidak lancarnya komunikasi bermuara ke ibu. Itulah yang menyebabkan ibu berlarut-larut dalam kesedihan. Butuh waktu sekitar lima bulan buat mengobati trauma healing. Mereka dibantu relawan dari mahasiswa maupun berbagai aktivis.
“Sekarang bagaimanapun tetap bersyukur, yang penting anak bisa makan sudah Alhamdulillah,” tuturnya. (*/aro)