RADARSEMARANG.COM, Dalam disiplin positif tidak ada hukuman. Hukuman diharapkan akan melahirkan hasil yang positif dari perubahan perilaku anak, namun terkadang hukuman malah justru bisa menimbulkan perasaan frustasi, sakit, dan dendam. Anak yang terpaksa atau sengaja melakukan pelanggaran belum tentu memahami, bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah perilaku negatif, dan ia tidak tahu bahwa perilaku negatif akan memberikan dampak negatif. Baik untuk dirinya ataupun orang lain karena perbuatannya.
Banyak orang tua atau guru beranggapan, hukuman menjadikan anak mudah diatasi atau di bawah kontrol mereka. Namun sesungguhnya untuk jangka panjang, mereka justru menciptakan ruang yang semakin besar terhadap hilangnya kontrol yang bersifat eksternal tersebut.
Karena sesungguhnya kontrol diri anak yang paling kuat dan menetap jangka panjang adalah yang bersifat internal. Karena anak sudah mengerti dan mampu mengevaluasi dirinya sendiri untuk memperbaiki perilakunya di masa mendatang.
Untuk mengganti hukuman sebagai akibat yang harus diterima dari kesalahan anak dengan berbagai langkah. Pertama, pemahaman bahwa anak memiliki karakter dan perilaku serta emosi yang jauh berbeda dengan orang dewasa. Dunia mereka dipenuhi dengan percepatan perubahan yang signifikan dari dalam diri mereka sendiri, baik secara fisik, kemampuan intelektual, maupun emosional.
Banyak hal yang kita anggap sebuah “perlawanan”, pemberontakan atas perasaan terkekang karena aturan, adalah suatu kekeliruan fatal yang mesti kita respons dengan sikap keras, dan ganjaran hukuman. Alih-alih langsung memvonis anak yang terlambat dengan hukuman, ancaman, dan dipermalukan di depan kawan-kawannya. Tapi guru bisa mencari penyebab keterlambatan, memberikan solusi supaya keesokan hari tidak datang terlambat lagi.
Kedua, ajari anak untuk memperbaiki kesalahan. Seorang murid tanpa sengaja memecahkan vas bunga di meja guru, bagaimana sikap guru pada saat itu? Guru bisa memilih, ia akan memarahi anak, membentak, menyalahkannya karena keteledorannya yang mengakibatkan vas bunga jatuh dan pecah. Guru bisa melakukan yang lebih baik dari itu, ia meminta anak membantu membersihkan pecahan vas bunga yang berserakan. Kemudian mengajaknya bicara, menanyakan keadaannya sehingga menyebabkan terjatuhnya vas bunga. Kemudian guru mempersilakan murid untuk memperbaiki kesalahannya dengan cara bertanggungjawab. Guru boleh bertanya kepada anak, “bagaimana kamu mempertanggungjawabkan perbuatan kamu ini?” Bagaimana supaya nanti kamu tidak melakukan hal yang sama di rumah, atau di toko?” Dari kejadian ini, anak tidak merasa dipermalukan, ditekan karena kesalahannya yang tidak disengaja, namun anak diberi kesempatan memperbaiki kesalahan tersebut untuk selanjutnya.
Ketiga, hubungan dan kasih sayang adalah hal yang membantu anak-anak ingin mengikuti arahan. Orangtua/guru hanya memiliki pengaruh dengan anak ketika anak merasa terhubung dengan mereka. Anak-anak hanya merasa terhubung ketika mereka merasa dipahami. Ketika kita merespons dengan belas kasih dan penerimaan daripada penilaian. (dar1/lis)
Kepala SMPN 2 Pegandon, Kendal