RADARSEMARANG.COM, PEMIKIRAN modern tentang kekuasaan dimulai dari tulisan-tulisan Nicollò Machiavelli pada awal abad ke-16 dan Thomas Hobbes di pertengahan abad ke-17.
Machiavelli menjelaskan tentang strategi dan sentral kekuasaan organisasi. Dia melihat kekuasaan sebagai sarana, bukan sumber daya, dan mencari keuntungan strategis.
Sedangkan menurut Hobbes menjelaskan bahwa kekuasaan sebuah hegemoni, merujuk pada dominasi (kepemimpinan) suatu negara kota terhadap negara kota lain dan berkembang menjadi dominasi ekstrim negara terhadap negara lain.
Setelah Perang Dunia Kedua, ilmu-ilmu sosial mulai mengambil minat dalam pengertian kekuasaan. Saat itu, hasil karya Max Weber (1947) berfungsi sebagai titik tolak pemikiran tentang kekuasaan karena melanjutkan garis rasional Hobbesian dan mengembangkan pemikiran organisasi.
Pendekatan Weber untuk kekuasaan terhubung dengan kepentingannya dalam birokrasi, terkait kekuasaan dengan konsep otoritas dan kekuasaan. Dia mendefinisikan kekuasaan sebagai probabilitas bahwa seorang aktor dalam suatu hubungan sosial akan berada dalam posisi untuk melaksanakan kehendaknya meskipun akan ada perlawanan untuk itu.
Teori kekuasaan setelah Weber mulai berkembang dengan kritik pada konsep birokrasi yang dianggap tidak adil karena birokrasi adalah ancaman pada kebebasan jiwa manusia. Organisasi birokrasi dianggap sebagai instrumen kekuasaan, yang akan menghalangi bentuk organisasi yang lebih demokratis (Morgan, 1986,1997).
Berdasarkan beberapa perkembangan teori kekuasaan dalam pandangan modern kala itu mendifinikan kekuasaan adalah sesuatu hal yang harus diperoleh, otoritas, milik individu atau kelompok tertentu, diperoleh dengan perlawanan, penindasan, dan melibatkan konflik.
Kekuasaan tidak hanya berkembang secara teori, tetapi juga praktiknya sangat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Manusia sebagai pelaku utama yang menjalankan kekuasaan saat ini ada pada masa modernisasi.
Jika praktik kekuasaan dilakukan dengan konsep teori kekuasaan yang konvensional maka kefanaan adalah goal yang dikejar individu tersebut dan kerusakan adalah dampak umum yang akan terjadi. Untuk mencegah kekuasaan yang tidak baik maka Islam sebagai agama mengajarkan kepada umat muslim bahwa kekuasaan harus dijalankan sesuai ajaran agama.
Kekuasaan dalam perspektif islam memiliki 4 prinsip menurut (Beekum, 1999) yaitu taat pada kebenaran, adil, amanah, tekun dalam kebenaran dan menepati janji. Pemimpin sebagai pelaku dalam praktik kekuasaan memiliki tanggung jawab yang berat dimana tanggung jawab itu tidak hanya pada dirinya tetapi juga pada rakyatnya.
Jenis-jenis kepemimpinan Islam diantaranya:
Kepemimpinan yang melayani adalah pemimpin sebagai pelayan rakyat yang berdedikasi, jujur, mementingkan kepentingan umat. Kepemimpinan transformasional adalah pemimpin transformative yang membangun visi misi dan tujuan organisasi diatas prinsip keadilan.
Kepemimpinan transformasional menggunakan nilai, sikap, perilaku, cinta altruistik, harapan, dan visi, untuk membujuk pengikut dan meninkatkan iman, sehingga menghasilkan organisasi yang positif.
Kepemimpinan transformatif menggabungkan unsur-unsur terbaik dari transformasional, karismatik, level kepemimpinan tertinggi (kerendahan hati dan tekad pemimpin), ketaatan pada nilai dan prinsip, dan kepemimpinan yang melayani.
Kepemimpinan etis, adalah pemimpin yang menggunakan sikap Konsultasi, keadilan, dan kebebasan berpikir sebagai prinsip utama. Kerangka landasan moral kepemimpinan etis dalam Islam berpusat pada kerelaan untuk tunduk kepada Sang Pencipta.
Dan sifat Ihsan merupakan aspek penting dari tanggung jawab moral kepemimpinan Islam.Kepemimpinan Situasional, adalah gaya kepemimpinan yang menyesuaikan keadaan dan situsi. Di mana Situasi dan keadaannya merupakan faktor penting yang mempengaruhi proses kepemimpinan.
Model kepemimpinan situasional Islam menekankan pada empat kualitas yaitu keterampilan, kepercayaan, pengetahuan, dan kesalehan. Pada konsep ini, Islam juga menyebutkan karakteristik tambahan seperti amanah, fleksibel, dan pengertian.
Kekuasaan dapat terjadi selain adanya pemimpin juga ada rakyat di dalamnya, adanya unsur rakyat didalamnya harus memberi kontribusi yang baik sehingga kemaslahatan dapat dirasakan oleh semua pihak. Kemaslahatan umat ini harus di sandarkan pada tujuan bahwa segala sesuatu didunia ini harus disandarkan pada Ridho Allah SWT. (*/zal)
Mahasiswa Progam Doktor Ilmu Manajemen Unissula