31 C
Semarang
Wednesday, 18 December 2024

Disiplin Positif, Kontribusi Pembelajaran Afektif, Platform Merdeka Mengajar

Oleh: Sudadi, S.Pd., M.Pd.

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Bolehkah kita memaksa? Sering kali kita mendengar bahwa untuk menjadi kebiasaan harus dipaksa. Benarkah anak dipaksa agar terbiasa disiplin sedari kecil atau pemaksaan justru mengurung ruang tumbuh kembang anak?

Memaksa terkadang bisa berhasil. Setidaknya dalam jangka pendek. Karena ada rasa takut. Tapi ada dampak jangka panjang yang tidak kita sadari. Pertama, perilaku tidak akan jadi kebiasaan dalam jangka panjang.

Perilaku itu hanya akan dilakukan jika ada paksaan dari luar. Karena perilaku tersebut bukan muncul dari kesadaran internal.

Kedua, akan hilang ketertarikan bahkan muncul antipati terhadap kegiatan yang dipaksakan. Misalnya anak yang dipaksa les menari mungkin malah akan muncul antipati pada tari tersebut.

Ketiga, kemerdekaan berekspresi dan potensi anak menjadi terbatas. Tiga dampak pemaksaan bertolak belakang dengan perilaku disiplin yang diharapkan.

Ki Hajar Dewantara menyiratkan bahwa disiplin yang kuat adalah syarat utama mencapai kemerdekaan. Di mana ada kemerdekaan disitulah harus ada disiplin kuat. Meski disiplin itu bersifat self discipline yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya.

Dalam konteks pendidikan untuk menciptakan murid yang merdeka diperlukan disiplin kuat. Yaitu disiplin diri dan memiliki motivasi internal. Merdeka menurut Ki Hajar Dewantara tidak hanya terlepas dari perintah. Tetapi cakap buat memerintah diri sendiri.

Sebagai pendidik, kita sebaiknya menerapkan cara positif. Tanpa harus memaksa. Di antaranya pertama, mengajak murid melakukan kegiatan yang senang. Kedua, membantu murid menemukan inspirasinya. Ketiga membuka ruang dialog dengan murid.

Motivasi perilaku menghindari rasa sakit atau hukuman. Memberikan hukuman menjadi salah satu cara mendisiplinkan murid. Kadang hukuman itu membuat murid merasakan sakit dan berdampak jangka panjang. Seseorang menunjukkan perilaku tertentu karena dilatarbelakangi tiga level motivasi.

Level untuk menghindari rasa sakit atau hukuman, Level untuk mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari orang lain dan level untuk menghargai dirinya sendiri.

Ketiga level tersebut menunjukkan motivasi kita dalam berperilaku. Secara naluriah, manusia cenderung menghindari rasa sakit dan hukuman. Rasa sakit cenderung menghasilkan emosi negatif. Hukuman membuat seseorang cepat lelah dan letih. Sebaiknya kita berhati-hati dalam menyikapi perilaku murid agar dapat menanganinya dengan tepat.

Jika kita melihat murid berperilaku buruk, coba lakukan beberapa hal. Yakni jangan langsung menghakimi murid; jadilah pendengar baik untuk mereka dan bimbing murid memahami konsekuensi apa yang mereka dapatkan atas pilihan dan perilakunya.

Motivasi perilaku menginginkan hadiah atau pujian. Pujian dan hadiah bisa mempengaruhi perilaku murid. Ia akan menjadi rajin mengerjakan tugas bahkan saling berkompetisi sebaik mungkin namun perilaku ini dekat dengan rasa kecewa.

Jika energi yang dikerahkan tidak berbalas sesuai janji hadiah maka akan muncul rasa kesal, marah dan bahkan merasa tidak dihargai. Bagaimana memotivasi murid tanpa pujian dan hadiah.

Kita perlu membedakan antara hadiah atau pujian yang dijanjikan dengan apresiasi. Apresiasi ini dilakukan di akhir pembelajaran. Sehingga perilaku murid tidak digerakkan sesuatu yang dijanjikan. Hindari menjanjikan dan mengiming-imingi hadiah.

Motivasi perilaku menghargai diri. Konsep diri kita akan menguat jika dilandasi dengan motivasi internal. Berperilaku menghargai nilai yang diyakini dan dirinya sendiri.

Ketika kita dulu menjadi murid, kita rajin mengerjakan tugas, belajar tekun sampai larut malam, dan semangat membaca.

Motivasi karena menghargai diri sendiri merupakan motivasi internal. Ketika seseorang berperilaku dengan motivasi untuk menghargai dirinya, ini akan memperkuat konsep diri tersebut.

Hal ini karena respon dari luar tidak akan mempengaruhi kekuasaan atas usaha yang dilakukan justru malah menguatkan nilai yang diyakini.

Untuk memunculkan potensi internal murid, dapat diawali dengan mengajukan berbagai pertanyaan seperti apa nilai yang diyakini keluargamu? Nilai baik apa yang kamu percayai? Apa respon dari luar jika kamu berperilaku berdasarkan nilai yang kamu percayai? Apakah bila kamu melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang kamu yakini, akan membuatmu merasa puas, nyaman dan senang? Apa yang membuatmu melakukan hal tersebut? Kamu ingin menjadi seseorang seperti apa? Apa tujuan pribadi yang ingin dicapai dari belajar atau mengerjakan sesuatu?

Berbagai pertanyaan tersebut dapat membantu murid menggali keyakinannya dan menemukan motivasi internalnya. Sehingga ia akan menghargai dirinya sendiri. (una/fth)

Pengawas SD Kec. Gringsing, Batang


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya