RADARSEMARANG.COM, WALAUPUN landasan hukum yang menaungi ada, namun penanganan anak jalanan di Kota Semarang tidaklah sederhana. Lingkaran anak jalanan terlampau kompleks. Secara sosial anak jalanan bertautan dengan berbagai komponen sosial, seperti orang tua, Dinas Sosial, polisi, LSM pendamping, lingkungan rumah singgah, bos koordinator, dan teman sebaya yang bukan hanya anak-anak namun juga orang dewasa.
Jumlah anak jalanan di Kota Semarang meningkat tajam. Tahun 2015 sebanyak 55 anak, tahun 2016 menjadi 192 anak, dan naik drastis tahun 2019 sebanyak 383 anak. Jumlah yang semakin banyak dengan luasan persebaran di Kota Semarang semakin sulit menanganinya.
Pemerintah daerah telah berupaya melakukan pemberdayaan, namun daya jangkaunya terbatas. Akibatnya, anak-anak jalanan berada dalam lingkaran kemiskinan yang belum banyak tersentuh.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Program Pemberdayaan Masyarakat melakukan berbagai upaya mengurangi kesenjangan. Meskipun belum sepenuhnya dapat meng-cover seluruh anak jalanan, namun upaya ini patut diapresiasi.
Banyak persoalan, di antaranya keterbatasan pendanaan dan keterbatasan jumlah pendamping. Sementara anak-anak jalanan berhadapan dengan ketidakmampuan meningkatkan kualitas belajar karena harus berbagi waktu antara belajar, bermain, dan bekerja. Sebagian mereka mengemis, berdagang, atau membantu orang tuanya bekerja. Tidak heran jika prestasi belajar rendah, kualitas pembelajaran tidak optimal karena fasilitas yang dimiliki terbatas.
Perlu langkah-langkah afirmatif untuk mengatasi persoalan tersebut. Yaitu pendampingan pembelajaran bagi anak-anak jalanan. Metode yang dilakukan adalah fasilitasi kebutuhan belajar seperti alat komunikasi pembelajaran daring, buku-buku, peralatan sekolah dan pendampingan peningkatan kualitas belajar. Anak-anak akan didampingi oleh mahasiswa, guru les belajar kelompok, dan LSM untuk membantu mengatasi kesulitan belajar mereka.
Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang sudah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 5 tahun 2014 tentang Penanganan Anak Jalanan, Gelandangan, dan Pengemis di Kota Semarang. Amak jalanan, gelandangan, dan pengemis merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Kota Semarang yang membutuhkan langkah-langkah penanganan terprogram, strategis, sistematik, terkoordinasi, dan terintegrasi, sehingga perlu dilakukan penanganan secara bersinergi antara pemerintah maupun nonpemerintah agar mendapatkan penghidupan dan kehidupan yang layak.
Sayangnya Perda nomor 5 tahun 2014 belum terdeformasi oleh Peraturan Wali Kota, akibat debatable terkait sanksi untuk masyarakat maupun pemerintah daerah sendiri. Isi Perda tersebut secara substansi telah menjangkau mengeliminasi permasalahan yang dihadapi anak jalanan, sehingga perda harus dijalankan, termasuk denda bagi yang melanggar.
Dalam konteks implementasi penanganan anak jalanan yang telah dilaksanakan menggunakan tiga strategi, yaitu pencegahan, penanganan, dan rujukan. Strategi ini dapat dikembangkan melalui tambahan strategi yaitu perlindungan dan rehabilitasi.
Bahkan jaringan antarstakeholder telah terbangun, namun representasi stakeholder yang hadir dalam penanganan anak jalanan menjadi wajib untuk diperluas. Kehadiran LSM dan lembaga masyarakat akan memperteguh apa yang telah dilakukan Dinas Sosial.
Pengabdian masyarakat ini dilakukan dengan pendekatan pendampingan dan partisipatif. Pendampingan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh fasilitator atau pendamping masyarakat dalam berbagai kegiatan program. Fasilitator ini kerap disebut fasilitator masyarakat (community facilitator/CF) karena tugasnya lebih sebagai pendorong, penggerak, katalisator, motivator masyarakat. Sementara pelaku dan pengelola kegiatan adalah masyarakat sendiri.
Pendampingan yang dilaksanakan PL/CF meliputi banyak jenis kegiatan. Seperti pengelolaan program mulai dari perencanaan sampai monev, pengembangan organisasi masyarakat sampai ke pengembangan jaringan. Tugas utama PL/CF adalah sebagai pelaksana transfer informasi dan teknologi (penyuluh) atau sekaligus sebagai ahli (expert) dalam penguasaan teknologi tertentu.
Selain itu tugas PL lebih sebagai pembuka katup-katup hubungan antara kelompok masyarakat dan antarmasyarakat dengan berbagai institusi sosial. Penanganan anak jalanan dengan ragam masalah yang dibawa dari jalanan memerlukan proses pendampingan untuk memenuhi haknya dan hidup layak sebagaimana teman sebayanya. Beberapa model yang dapat dikembangkan dalam pendampingan adalah memotivasi, mengembalikan pola pikir bahwa jalanan bukan tempat yang cocok untuk anak-anak, dan menguatkan kapasitas keluarga.
Perlu juga dilakukan pendekatan partisipatif. Yakni, pendekatan yang mendorong para pihak untuk bersama menguatkan subjek tujuan. Pendekatan partisipatif akan dimulai dari kemampuan subjek untuk memahami apa yang akan dilakukan. Pengetahuan menjadi penting untuk mengetahui dan membangun kesepakatan. Pengetahuan yang terbangun akan mempengaruhi sikap dan perilaku. Anak jalanan harus melalui tahapan peningkatan kemampuan diri.
Namun ada beberapa kendala meliputi, 1) kontinuitas program dan 2) penanganan anak jalanan, terkait dengan pola pemberian keterampilan yang tidak memperhatikan karakteristik anak jalanan dan program-program yang diberikan acapkali membuat jenuh.
Beberapa hasil dari pendampingan yang didukung LSM Anantaka Semarang adalah meningkatnya proses belajar di lingkungan anak-anak jalanan, menguatnya kapasitas anak-anak jalanan dengan menyukai buku sebagai sumber ilmu, dan makin menguatnya kesadaran bahwa pendidikan menjadi penting sebagai bekal dalam mencapai cita-cita.
Meskipun upaya yang dilakukan belum sepenuhnya tercapai, namun anak-anak jalanan Kota Semarang telah memberikan setitik harapan, yaitu mau bersekolah dan menguatkan tekad untuk berbakti kepada orang tua, guru, dan negeri dengan meyakinkan diri belajar dan belajar. (*/ida)