RADARSEMARANG.COM – PANGGUNG politik 2024 jadi momentum yang enggan dilepaskan oleh partai manapun. Penyusunan Kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin jadi madu politik, sehingga menjadikan pusat gravitasi politik tersentral di pundak Joko Widodo. Hal ini membuat sejumlah parpol melakukan manuver tak biasa di mata publik.
Situasi perpolitikan nasional saat ini mengingatkan adagium yang kerap kita dengar bahwa “Dalam politik yang abadi adalah kepentingan”. Sosok lawan pun bisa (mendadak) jadi kawan. Sebaliknya, kawan bisa menjadi kawan. Kondisi ini tergambar jelas menjelang pelantikan pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih Jokowi – Ma’ruf Amin pada 20 Oktober 2019.
Kata kunci penyusunan kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin 2019-2024 jadi madu para parpol untuk mencari posisi. Masuk dalam kabinet sama dengan jalan pintas dikenal publik. Ketokohan seseorang akan naik— plus kinerja sebagai alat pencitraan bakal terlihat langsung oleh rakyat.
Partai oposisi yang sebelumnya bersaing saat pilpres 2019 pun, ramai-ramai merapatkan diri ke Jokowi. Gerindra dengan Prabowonya dan Partai Amanat Nasional melalui Zulkifli Hasannya. Keduanya langsung menemui Jokowi di detik-detik pelantikan. Padahal, kita tahu, dua partai itu paling sensasional menolak hasil Pilpres 2019 lalu.
Tidak ketinggalan, sang ahli strategi militer—sekaligus Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono—turun gunung menemui langsung Jokowi dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Yang tentu saja menarik, tentu langkah Partai Demokrat yang selama ini dikenal sangat hati-hati dalam menentukan sikap politiknya serta pasang surut hubungan SBY dengan Megawati, menjadi titik penentu komunikasi politik antara SBY dengan Jokowi.
Apakah SBY merajuk pada Jokowi agar ada tokohnya yang masuk kabinet? Kesan yang ditangkap publik adalah SBY membujuk Jokowi untuk memasukkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam jajaran kerja pemerintahan baru.
Bagaimana respons Jokowi? Gestur politik yang tampak adalah Jokowi meminta agar Demokrat juga kulonuwun pada partai pengusung Jokowi. Baca saja seperti yang dilakukan Gerindra dengan safari politiknya Prabowo Subianto.
Hasil safari politik Prabowo Subianto yang dilegitimasi dengan Rakernas, bayang- bayang kadernya mulai tampak dalam susunan kabinet mendatang. Tiga nama kader Gerindra yang disebut bakal masuk adalah u Edy Prabowo, Fadli Zon, Sandiaga Uno atau bahkan Prabowo sendiri.
Apakah langkah Gerindra menjadi penghambat langkah Demokrat untuk masuk kabinet? Yang pasti, kader-kader muda Demokrat mulai jengah dengan langkah Prabowo yang membawa motif safarinya amandemen UUD’45. Lihat saja komentar Andi Arief maupun Jasen Sitindaon sebagai kader muda Demokrat yang melontarkan kritikan pedas atas kesepakatan pertemuan Prabowo-Paloh pada Minggu (13/10/2019) tentang Amandemen UUD 1945.
Di sisi lain, munculnya isu SBY merapat ke Jokowi, menuai aneka tanggapan dari berbagai pihak. Ada yang setuju, misalnya, Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Sadzily (14/8/2019). Sedangkan yang menolak, misalnya, politikus PDIP Andreas Hugo Pareira, karena menganggap Demokrat terlambat.
Saya sendiri melihat positioning Partai Demokrat berada di ujung tanduk. Sosok AHY bisa jadi ganjalan politik parpol pengusung Jokowi, karena sudah diprediksi menjadi bakal calon presiden 2024. AHY yang disebut-sebut sebagai bakal calon presiden–karena posisinya sebagai Putra Mahkota Demokrat—tidak bisa dipungkiri lagi. Apalagi, jabatannya sekarang sebagai Wakil Ketua Umum. Bahkan, bisa jadi Gerindra juga mengantisipasi posisi AHY di 2024, dengan melakukan lobi politik untuk bloking panggung AHY di kabinet Jokowi.
Ibarat bidak catur, langkah Partai Demokrat mudah terbaca publik. Posisi AHY mudah dimatikan dalam penyusunan kabinet Jokowi. Caranya, bisa dengan AHY tidak diberi porsi panggung di Kabinet Jokowi Ma’ruf Amin. Atau, bisa saja diberi panggung tapi di- reshuffle di tengah jalan. Namun, cara kedua ini berisiko bagi partai penguasa. Karena akan ada kesan dizolimi yang bisa menjadi isu politik nasional yang justru menguntungkan bagi AHY di 2024.
Membaca situasi politik saat ini, posisi PD yang merapat ke Jokowi setelah hasil Pilpres, termasuk terlambat jika dihitung secara kalkulasi politik. Momentumnya meleset, meski bisa jadi pembelajaran secara etika politik. Tidak elok berpindah koalisi ketika pemilu belum usai. Tapi, bagi PD tidak ada nilai jualnya.
Mestinya, sekalipun Jokowi dan partai pengusungnya menerima bergabungnya PD dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, PD tidak mensyaratkan kadernya masuk kabinet. Lebih elegan dan terhormat dengan cukup memberikan referensi calon-calon menteri dari kalangan profesional maupun masukkan tentang menteri yang layak dipertahankan karena kinerja yang bagus bagi rakyat.
Lalu panggung AHY di mana? Lebih baik PD bekerja lebih keras dengan menyiapkan panggung di luar kabinet. Lebih real untuk segera di-running sebagai Ketua Umum Partai Demokrat agar membangun penguatan struktur partai. Karena sebagai kader millenial, AHY dibutuhkan semangat dan jiwanya untuk menggerakkan rotasi struktur partai sampai di tingkat desa, sambil menyusun kekuatan basis struktural PD untuk 2024.
Posisi ini menjadikan AHY tidak mudah dijatuhkan dan dimatikan sebagai capres 2024. Ini akan lebih bernilai jual, karena membangun kekuatan politik yang lebih real dan mandiri. Kita juga belum dapat memprediksi apakah madu kabinet Jokowi – Ma’ruf Amin akan tetap manis sampai dengan tahun 2024. Wallahuallam... (*/isk)
Penulis Adalah Pemerhati Masalah Sosial Politik, tinggal di Semarang.