RADARSEMARANG.COM, Semarang – Spirit eco green atau ramah lingkungan kerap kali dinilai dari fisik atau penampilan luar saja. Padahal hakikatnya itu merupakan budaya yang perlu ditanamkan melalui perilaku manusia.
Menurut Dosen Fakultas Dahwah UIN Walisongo Semarang, Ibnu Fikri, dari berbagai riset ilmiahnya, ia menyimpulkan bahwa hubungan agama dan lingkungan telah menjadi subjek sejak para sarjana mengambil perhatian terhadap pemanasan global dan isu perubahan iklim.
Dikatakan, krisis ekologi merupakan gejala dari krisis spiritual di pertengahan abad ke-20. “Krisis tersebut tidak disebabkan oleh doktrin yang salah. Tetapi orang-orang modern yang mengejar pembangunan untuk kebutuhan mereka, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis di masa depan,” ujarnya saat orasi ilmiah dalam rangkaian Dies Natalis ke-51 UIN Walisongo di Auditorium 2 Kampus 3, Selasa (6/4/2021).
Dikatakan, dalam banyak situasi, ajaran agama dan perilaku ramah lingkungan berjalan serasi. Islam yang mengajarkan untuk hidup sederhana seperti yang tercermin dalam kehidupan pesantren. Kewajiban berpuasa, dan menjauhkan diri dari konsumerisme berlebihan sangat berperan mengurangi timbunan sampah. Baik sampah makanan, pakaian, hingga perkakas rumah tangga.
“Di samping itu, peran perempuan yang hingga kini masih identik dengan pekerjaan domestik turut menjaga keberlangsungan hidup lingkungan. Perempuan cenderung memiliki rasa tanggung jawab pada kebersihan lingkungan dan kedekatan dengan alam,” paparnya.
Salah satu yang menjadi contoh eco green dalam konteks lokal ajaran Walisongo, menurut Ibnu Fikri, adalah sedekah sampah. Upaya perempuan muslim perkotaan untuk mengelola sampah, dan memanfaatkannya, secara tidak langsung membuktikan kesadaran eco green tersebut. Selain itu, lanjut dia, perilaku mereka didorong dari ajaran agama. “Mengolah sampah rumah tangga adalah bentuk tanggung jawab dari konsumsi keluarga itu sendiri,” katanya.
Dengan spirit yang serasi tersebut, Rektor UIN Walisongo Prof Dr Imam Taufiq MAg menyampaikan, untuk meneguhkan semangat Walisongo dalam kehidupan kampus dan lingkup yang lebih luas, eco green bukan semata penampilan hijau dan bersih. Tapi tercermin dari perilaku manusia di dalamnya.
“Kita punya semangat green, lingkungan fisik maupun non fisik lebih ramah. Green itu kan bukan semata hijau, tapi tradisi klasik dari eco green ini kita bangun dengan balutan karakter,” tuturnya. (cr1/aro)