RADARSEMARANG.COM, Semarang -Tata Kelola hulu migas ke depan perlu kebijakan kondusif untuk mewujudkan impian 1 juta barel per hari dengan mendorong peran investasi internasional (FDI) yang dominan di sektor migas. Perlu landasan kebijakan yang tidak sering berubah, konsisten dengan komitmen tinggi untuk investor/KKKS/PSC.
“Sektor migas perlu berjuang keras untuk mempertahankan tingkat produksi saat ini (current production). Perlu belajar dari success story kontribusi BP Migas dalam pengembangan WK Cepu, LNG Tangguh dan D-Alpha Natuna (sebelum 2012),” tutur Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, dalam Forum Group Discussion (FGD) bertajuk Tata Kelola Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagai Lokomotif Ekonomi yang Selaras dengan Kebutuhan Industri, di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Jumat (4/6/2021).
Selain Purnomo, pembicara lainnya Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, Joko Priyono, Dekan Fakultas Hukum UNDIP, Retno Saraswati, dan Praktisi Hukum Migas, Ali Nasir. Forum juga diikuti mahasiswa melalui live conference.
Menurut Purnomo, pemerintah harus mendorong penemuan cadangan baru melalui kebijakan untuk meningkatkan RRR (Reserve Replacement Ratio). Pemerintah perlu menerapkan skema kontrak fleksibel berkepastian hukum. Termasuk sanctity of contract dengan dukungan tim ahli kompeten.
“Pemerintah perlu menyederhanakan prosedur, diharapkan kedepannya lebih bersifat bisnis dan tidak birokratis. Perlu dibentuk suatu badan khusus independent di luar pemerintah yang melakukan pengaturan pengurusan pengawasan,” tuturnya.
Retno Saraswati menjelaskan, format ideal pengelolaan migas sesuai amanat putusan MK No. 36/ PUU-X/2012. Model pengelolaan migas yang diamanatkan oleh Putusan MK, pemerintah secara langsung menjadi pihak dalam kontrak. Apabila pemerintah yang secara langsung menjadi pihak dalam kontrak (model satu kaki), akan menunjukkan secara nyata dan langsung keterlibatan negara dalam pengelolaan migas.
“Dengan undang-undang tersebut, dibentuk satu lembaga atau otoritas migas nasional. Urgensi Revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, dari aspek filosofis Indonesia sebagai negara hukum menghendaki kepatuhan hukum dan tidak boleh terjadi kevakuman hukum dan konflik norma hukum. Aspek yuridis, amanat putusan MK memiliki sifat final dan binding, harus segera ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden,”terangnya.
Ali Nasir memaparkan, hal yang melandasi pentingnya perubahan UU Migas adalah, pertama amanat konstitusi. Kedua, kebutuhkan investasi besar untuk mencapai target 1 juta barel minyak per hari dan 12 miliar standar kubik gas per hari pada tahun 2030. Ketiga, pergeseran paradigma pengelolaan energi.
Menurut Ali, ada beberapa perubahan yang perlu dilakukan. Yakni, menyesuaikan UU Migas dengan konstitusi, dan model tata kelola dan kelembagaan migas di dunia. Perlu ada BUMN-K yang posisinya menggantikan SKK Migas. “Kapasitas dan otoritas merupakan kunci keberhasilan pengelolaan migas dan perbaikan fiscal. Kepastian hukum merupakan pilar penting investigasi migas,” tandasnya. (fiq/bis/bas)