JAKARTA, RADARSEMARANG.COM-Inspektorat Jenderal Kementerian Agama (Itjen Kemenag) melakukan percepatan pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) dalam tiga tahun terakhir. Ini adalah langkah konkrit dalam mewujudkan good governance di Kementerian Agama.
Pada 2021, baru terbentuk 67 UPG pada Eselon I, Kanwil Kemenag Provinsi, Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri, UPT, dan unit kerja lainnya pada Kementerian Agama.
Jumlah UPG makin bertambah pada 2022, mencapai 106 UPG. Tahun ini bertambah lebih banyak, 71 UPG sehingga totalnya sudah 187 UPG.
“Alhamdulillah, sejak 2021 hingga 2023 ini Itjen Kemenag berhasil mengawal terbentuknya 187 UPG. Ini ada di tingkat pusat hingga Kementerian Agama Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia,” kata Irjen Kemenag Faisal Ali Hasyim di Jakarta, Jumat (29/12/2023).
Menurut Faisal, progress positif tersebut merupakan bentuk keseriusan Kemenag dalam menciptakan lingkungan kerja yang bersih dan bebas dari praktik korupsi.
“Kami akan terus mendorong agar semakin banyak satuan kerja yang memiliki UPG,” katanya.
Ia berharap pembentukan UPG dapat memperkuat sistem pencegahan korupsi di Kemenag, menjaga kebersihan dan transparansi lingkungan kerja serta mendorong partisipasi aktif pencegahan gratifikasi.
“Pembentukan UPG merupakan upaya untuk mengintensifikasi budaya dan pemahaman pegawai tentang antikorupsi serta penguatan struktur tata kelola Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) pada Satuan Kerja,” kata Faisal.
Cara Pelaporan Gratifikasi
Terkait cara pelaporan gratifikasi, ada dua cara. Pertama, melaporkan gratifikasi secara mandiri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelapor, dapat datang langsung atau mengirimkan laporan via pos, surat elektronik, atau aplikasi KPK pada laman [https://gol.kpk.go.id](https://gol.kpk.go.id). Kedua, melaporkan gratifikasi melalui UPG Satuan Kerja dan meneruskannya ke UPG Instansi Pusat.
Faisal menambahkan, Kemenag telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama 23 tahun 2021 tentang Pengendalian Gratifikasi pada Kemenag.
Regulasi ini antara lain mengatur tentang gratifikasi yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu kategori gratifikasi yang wajib dilaporkan dan tidak wajib dilaporkan.
“Gratifikasi yang wajib dilaporkan merupakan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas pegawai. Sedangkan, gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan adalah gratifikasi yang tidak terkait dengan kedinasan,” tutur Faisal.
Regulasi Gratifikasi
Masalah gratifikasi diatur dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pasal 12B UU No 20 tahun 2021 menyebutkan bahwa gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Penerima gratifikasi diancam hukuman penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. (ida)