Titik kritis kedua, saat jamaah haji gelombang pertama tiba di Kota Madinah, biasanya terlalu bersemangat melakukan ibadah arbain atau salat berjamaah 40 waktu. Dan gelombang kedua tiba di Makkah, sangat bersemangat melakukan umrah haji.
“Tahun lalu, banyak jamaah haji Indonesia kesasar di awal keberangkatan, karena tak melakukan orientasi lokasi saat pertama kali datang, karena terlalu semangat dan rindu akan ka’bah, Masjidil Hram, dan Madinah,” katanya.
Padahal kali pertama tiba di tanah suci, yang harus dilakukan adalah orientasi lokasi tempat tinggal. Di antaranya harus mengetahui, tinggal di hotel apa, lokasinya dimana, jalannya apa, kondisi fisik hotelnya seperti apa.
“Untuk mengantisipasi agar jamaah haji tidak kesasar, kami bekali jamaah haji dengan kartu hotel. Dengan kartu hotel, agar mudah minta pertolongan petugas haji Indonesia maupun petugas lainnya,” katanya.
Arsyad mengilustrasikan, dari 450 jamaah haji yang ke Batullah, yang kembali ke hotel bisa jadi 200 orang. Yang lain separo lebih kesasar, atau kalaupun bisa Kembali, besok harinya.
Ini titik kritis yang harus diperrhatikan. Jumlah lansia sangat banyak sangat berpotensi kesasar. Karena akan terus bertambah banyak orang. Karena itu, orang tua, orang pikun, dan orang yang butuh perhatian lebih, jangan sampai tidak tahu lokasi mereka tinggal.
Titik kritis lainnya, jamaah haji yang tinggal di Makkah dan masih menunggu puncak haji 8 Dzulhijjah, sebagian kelompok atau golongan dengan sengaja mengisi waktunya dengan melakukan umrah sunah.
“Kami tak melarang mereka melakukan umrahb berkali kali asal kondisi fisiknya sehat. Tapi buat mereka yang memiliki keterbatasan, jangan dipaksakan,” ingatnya.
Menurutnya, lebih baik menjaga kondisi fisik agar tetap bugar untuk bisa menjalankan puncak haji wukuf di padang arafah.