30 C
Semarang
Tuesday, 17 June 2025

Ingatkan Jamaah Haji Tak Paksakan Ibadah Sunah, Tapi Ambruk Saat Wukuf

Artikel Lain

Tingginya Angka Kematian Jamaah Haji Disebabkan Kelelahan

RADARSEMARANG.COM, JAKARTA-Tingginya jumlah angka kematian jamaah haji saat menjalankan ibadah haji di Tanah Suci Makkah dan Madinah, sejauh ini lebih disebabkan karena kelelahan dan kecapekan. Umumnya karea jamaah haji memaksakan ibadah sunah, giliran saat puncak haji wukuf di Arafah sudah melemah kondisi fisiknya. Akibatnya, mengalami kecapekan luar biasa hingga menyebabkan kematian.

Hal tersebut diingatkan oleh Direktur Bina Haji Ditjen Penyelenggaraan Hajji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) RI Arsyad Hidayat saat apel pagi dalam acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Tugas dan Fungsi (Fusi) Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi di Asrama Haji Pondok Gede Senin (11/4/2023).

Arsyad mengingatkan para petugas haji untuk waspada dan meminimalisasi kasus kematian jamaah haji Indonesia, kata kuncinya hanya tugas dan tanggung jawab petugas pelayanan Kesehatan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), konsulatan ibadah, atau pembimbing ibadah, tapi menjadi tugas PPIH di Arab Saudi. Dengan kerja bersama yang solid dan kompak saling bahu membahu, harapannya seluruh jamaah haji bisa sampai ke tanah suci, bisa beribadah dengan nyaman, dan bisa kembali ke tanah air dengan selamat.

Arsyad mnengharapkan para petugas terus memberikan edukasi, sosialisasi, dan pendampingan kepada para jamaah haji bisa beribadah dengan baik tanpa memaksakan diri. edikitnya ada beberapa titik kritis yang bisa menyebabkan kematian jamaah haji Indonesia yang harus diperhatikan para petugas.

“Kami perlu cermati di tahun sebelumnya, saat awal kedatangan jamaah haji gelombang pertama di Bandara Madinad dan gelombang kedua di Bandara Jeddah, biasanya pertama kali datang ke negara orang, tentu budaya, suhu, dan lainya yang berbeda,” katanya.

Biasanya orang yang baru tiba kali pertama, mengalami culture shock, karena berbeda kultur. Orang Arab yang hidup di padang pasir nada bicaranya keras. “Ada nenek-nenek yang sampai stress, merasa dibentak-bentak orang Arab. Bahkan nenek itu merasa, saya dosa apa kok dimarah-marahi. Padahal, itu kultur mereka orang Arab yang memang keras. Ini perlu diantsiipasi,” tandasnya.

Titik kritis kedua, saat jamaah haji gelombang pertama tiba di Kota Madinah, biasanya terlalu bersemangat melakukan ibadah arbain atau salat berjamaah 40 waktu. Dan gelombang kedua tiba di Makkah, sangat bersemangat melakukan umrah haji.

“Tahun lalu, banyak jamaah haji Indonesia kesasar di awal keberangkatan, karena tak melakukan orientasi lokasi saat pertama kali datang, karena terlalu semangat dan rindu akan ka’bah, Masjidil Hram, dan Madinah,” katanya.

Padahal kali pertama tiba di tanah suci, yang harus dilakukan adalah orientasi lokasi tempat tinggal. Di antaranya harus mengetahui, tinggal di hotel apa, lokasinya dimana, jalannya apa, kondisi fisik hotelnya seperti apa. “Untuk mengantisipasi agar jamaah haji tidak kesasar, kami bekali jamaah haji dengan kartu hotel. Dengan kartu hotel, agar mudah minta pertolongan petugas haji Indonesia maupun petugas lainnya,” katanya.

Arsyad mengilustrasikan, dari 450 jamaah haji yang ke Batullah, yang kembali ke hotel bisa jadi 200 orang. Yang lain separo lebih kesasar, atau kalaupun bisa Kembali, besok harinya.

Ini titik kritis yang harus diperrhatikan. Jumlah lansia sangat banyak sangat berpotensi kesasar. Karena akan terus bertambah banyak orang. Karena itu, orang tua, orang pikun, dan orang yang butuh perhatian lebih, jangan sampai tidak tahu lokasi mereka tinggal.

Titik kritis lainnya, jamaah haji yang tinggal di Makkah dan masih menunggu puncak haji 8 Dzulhijjah, sebagian kelompok atau golongan dengan sengaja mengisi waktunya dengan melakukan umrah sunah. “Kami tak melarang mereka melakukan umrahb berkali kali asal kondisi fisiknya sehat. Tapi buat mereka yang memiliki keterbatasan, jangan dipaksakan,” ingatnya.
Menurutnya, lebih baik menjaga kondisi fisik agar tetap bugar untuk bisa menjalankan puncak haji wukuf di padang arafah. “Jangan sampai jamaah haji mengutamakan yang sunah, mengabaikan yang wajib. Ini harus menjadi perhatian petugas,” ingatnya.

Titik krusial yang paling butuh perhatian adalah saat keberangkat ke masyair atau padang Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Banyak jamaah haji yang kelelahan atau kecapaian. Walaupun mereka diberikan kesempatan tidur, karena kondisi yang ramai, mereka tidak bisa istirahat dengan baik. Sedangkan di Mina kondisi tendanya sangat sempit sekali, otomatis jamaah haji tidak akan banyak bisa beristirahat. “Maka kondisi fisik mereka menjadi sangat lemah,” ingatnya.
Padahal pada saat masyair, jamaah haji lebih banyak melakukan aktivitas fisik. Sementara pada waktu yang sama, para jamaah haji ini harus melakukan jumrah aqobah dan jumrah tasrik.

“Sedangkan tenda kita 5 kilometer, jikalau ditempuh dengan jalan kaki maka harus pulang pergi menempuh 10 km. Kalau kondisi fisik tidak sehat, tentu kondisi fisik akan menurun,” ingatnya.

Titik kritis lainnya, waktu tawaf ifadah. Sebagian jamaah haji yang selesai melakukan jumrah aqobah, ada yang memaksakan diri melakukan tawaf ifadah pada 10 Djulhijjah, padahal saat ituMasjidil Haram penuh orang dan sesak. “Para jamaah haji ini pastai capai, habis jumrah aqobah, langsung jalan kaki melakukan jalan kaki ke Masjidil Haram, tambah capai dan lelah,” tandasnya.

Karena itu, Arsyad memimta kepada para konsultan dan pembimbing ibadah, mengedukasi jamaah haji agar istirahat dulu di hotel. Setelah kondisi sehat, baru melakukan tawaf ifadah. “Jangan paksakan usai jumrah aqobah, langsung tawaf ifadah. Saya yang masih muda saja capai sekali, apalagi para lansia. Maka konsultan dan pembimbing ibadah harus mengarahkan para jamaah haji. Apalagi tidak ada batasan tanggal dalam tawaf ifadah. Terpenting selama jamaah haji masih tinggal di Kota Makkah bisa kapanpun melaksanakan tawaf ifadah,” pungkasnya. (ida)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya