RADARSEMARANG.COM – Apapun yang dialami seseorang, ketika disikapi secara optimistis, semua bisa dilalui dengan beragam karya dan penuh kemanfaatan. Termasuk para penderita stroke, ketika dihadapi secara optimistis justru meningkatkan kesembuhan dan bisa terus produktif. Sebagaimana yang dialami para stroke survivor.
Menjadi seorang penyintas stroke tentu bukan keinginan. Bagi Widjajanti Dharmowijono, musibah ini tetap disyukuri. Di sela pemulihannya untuk sembuh, ia justru menjadi orang yang lebih baik setelah terkena stroke. Lebih sabar dan lebih bersyukur.
“Saya percaya Tuhan bukan menghukum, tapi memilih saya sebagai pasien stroke untuk menjadi lebih baik. Saya nyaris mati waktu itu. Tapi karena Tuhan, saya masih diselamatkan. Pasti ada maksudnya, ada tugas berbuat baik untuk orang lain. I take nothing for granted. Saya belajar berserah tanpa pernah menyerah,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.
Ia mengungkapkan, yang mesti dilakukan bukanlah mengutuk atas rasa sakit. Namun, bagaimana melatih agar kembali pulih. Sebab, bagi dia, Tuhan telah memilihnya terkena stroke tentu sekaligus menyiapkan barisan malaikat-Nya.
Kendati demikian, ia pernah di fase menangisi kehilangan kemandiriannya seperti dulu. Sedih tentu saja. Karena ia mesti bergantung kepada orang lain. Tak lama, ia cepat disadarkan suaminya, Teguh S Rahardjo, seorang dokter ahli bedah di SMC Telogorejo.
“Ya saya punya rumah bagus, tempat tidur yang nyaman, puluhan baju untuk saya pilih setiap hari, anak-anak yang hebat, cucu-cucu yang sehat dan lucu, perawatan yang sangat oke. Saya sudah membuat banyak kemajuan, saya bisa bicara dan berpikir seperti normal. Begitu banyak pasien stroke yang bersedia menukar situasi saya dengan situasi mereka. Dan yang paling penting, Saya Hidup! Di kemudian hari saya baru tahu betapa tipisnya garis antara hidup dan mati bagi saya saat kena stroke,” katanya mengutip dalam sebuah postingannya di media sosial.
Ibu tiga anak ini ingat betul seperti apa kalutnya ketika mengetahui ia stroke. Namun, ia berusaha tegar dan tenang. Diakuinya, ia tak bisa berdiam diri saja meratapi penyakitnya ini. Sekuat tenaga, selain melakukan terapi dengan mengalihkan untuk berkreasi. Di antaranya menulis dan melukis.
Hobi menulis tetap menjadi kesibukan sehari-hari Inge -panggilan akrabnya. Ia tetap menulis di Facebook, ia tak sungkan membagikan pengalaman seputar stroke seperti gejala, golden our penanganan stroke, dan ajakan untuk pulih. Ia juga masih menjadi penerjemah bahasa Indonesia-bahasa Belanda.
Inge menyebutkan, salah satu novel karya terjemahannya adalah “Moemie, Gadus Berusia Seratus Tahun” oleh penulis Belanda Marion Bloem. Buku itu diterbitkan oleh KPG tahun 2016, tepat ketika ia baru-baru awal terkena stroke.
Yang terbaru, bulan April 2021 bukunya yang berjudul “Bukan Takdir, Kisah Pencitraan Orang Tionghoa di Nusantara” diterbitkan oleh Penerbit Ombak, dengan Prakata Goenawan Mohamad dan Prof A.N. Paasman. Keduanya adalah guru besar pembimbing Inge.
Ia menyebut, buku ini mesti melewati 12 tahun. “Naskah ini berasal dari disertasi ketika S3 di Universitiet van Amsterdam, Belanda. Syukur akhirnya diterbitkan karena dulu pernah ditolak penerbit Belanda,” ungkap wanita 75 tahun ini sambil tertawa.
Selain menulis, mantan dosen dan Ketua Prodi Bahasa Belanda di AKABA 17 1989-2016 ini juga memiliki kegemaran baru yakni melukis. “Hobi saya melukis, terutama dengan cat air. Melukis pun baru saya gemari setelah kena stroke,” ucapnya.
Tak hanya itu saja, wanita lulusan S1 dan S2 di Katholieke Universiteit Leuven, Belgia, serta S3 dari Universiteit van Amsterdam, Belanda ini juga memproduksi permen. Namanya, Mia Nada Hopjes.
Meski sebagai penyintas stroke yang masih dalam masa pemulihan, namun tak menghalangi Inge memiliki banyak kegiatan. Walau, diakuinya ia masih sering jatuh. Sebagian tubuhnya sebelah kiri pun terkadang masih belum bisa digerakkan dan tidak terkontrol. Namun, ia sangat bersyukur. Dengan keterbatasan yang ia miliki saat ini, ia masih bisa bermain dengan cucu-cucunya. Masih bisa menulis dan melukis. (ifa/ida)