RADARSEMARANG.COM, Semarang – Jawa Tengah menjadi satu-satunya wilayah yang tak memiliki zona merah stunting di atas 30 persen. Predikat tersebut mencuat di antara 12 provinsi prioritas penurunan stunting.
Melihat jejak ambisi Jateng menangani stunting, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo sangat optimistis Jateng mampu menekan angka balita pendek lebih dari target nasional.
“Anggaran tahun ini masih refocusing, tapi dengan dana di atas Rp 25 triliun, kami optimistis asalkan dapat terfokus dan konvergen,” ujarnya usai sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting (RAN PASTI) di Hotel PO Semarang, Selasa (1/3)
Kegiatan tersebut menggandeng para stakeholder tingkat kabupaten atau kota untuk memahami langkah maupun anggaran khusus RUN PASTI tersebut. Pasalnya masih ada daerah yang belum mengetahui adanya alokasi khusus untuk penanganan stunting. Pihaknya mengajak semua pihak baik dari OPD, pemerintah kabupaten atau kota, hingga lingkup terkecil perangkat kelurahan atau desa untuk bersinergi dan lebih meningkatkan ambisi.
Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, Jawa Tengah masih memiliki 19 kabupaten dan kota dengan kategori kuning atau dengan prevalensi 20 sampai 30 persen. Di antaranya Kendal, Kota Semarang, Blora, Banyumas, Batang, Kabupaten Magelang, Banjarnegara, Kota Tegal dan Pemalang.
Sedangkan 15 kabupaten atau kota lainnya berkategori hijau dengan prevalensi di kisaran 10 hingga 20 persen. Yakni, Sukoharjo, Kabupaten Pekalongan, Sragen, Rembang, Cilacap, Kudus, Purbalingga, dan Kabupaten Semarang.
“Grobogan menjadi satu-satunya kabupaten di Jawa Tengah yang berstatus biru dengan prevalensi kurang dari 10 persen. Tepatnya 9,6 persen,” imbuhnya.
Untuk urutan prevalensi terbesar angka stuntingnya dari lima kabupaten yakni, Wonosobo, Kabupaten Tegal, Brebes, Demak dan Jepara. Sementara lima kabupaten dengan prevalensi stunting terendah dimulai dari Grobogan, Kota Magelang, Wonogiri, Kota Salatiga dan Purworejo.
Di samping itu, Hasto mengakui adanya perbedaan data hasil survey SSGI dengan pemerintah daerah. Namun ia berkomitmen untuk mengoptimalkan sistem pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) agar semua data sinkron dan terintegrasi satu sama lain.
“Sekarang ini kita masih fokus untuk pengukuran tinggi badan ideal berdasarkan usianya atau pertumbuhannya. Ke depan akan ada kartu tumbuh kembang anak yang mengukur kecerdasan, keaktifan, aktivitas anak,” jelasnya. (taf/zal)