RADARSEMARANG.COM, Wonosobo – Sejumlah petani carica di Dieng mengeluhkan harga buah yang tak pernah stabil. Petani ogah untuk menanam carica kembali. Bahkan mereka berencana akan membabat habis tanaman khas dieng itu.
“Lah gimana mas, kita sudah menanam tapi hasilnya tidak sebanding dengan harga buah saat dipanen,” terang Rudi Susanto, salah satu petani buah carica di Desa Parikesit, Kecamatan Kejajar Rabu (6/7).
Ia mengaku, selama ini para petani carica di wilayah Dieng sering tak mendapatkan untung dari hasil penjualan yang dilakukannya. Tentu hal itu membuat sejumlah petani carica tak bersemangat mempertahankan buah khas tersebut.
“Padahal buah carica ini kan sangat endemik di sini. Sebab di Kecamatan Kejajar ini kan hanya ada enam desa saja yang bisa ditanami carica,” ujarnya.
Namun meskipun tak seluruh daerah bisa ditanami carica, banyak petani yang enggan menanam dan mempertahankan buah ini. Saking enggannya menanam dan memanen, buah tersebut sering dibiarkan hingga membusuk di lahannya.
Ia menggambarkan untuk setiap satu kilogram buah carica dari petani hanya dihargai Rp 1000 sampai Rp 2000 saja. Hal tersebut dianggap sangat tidak tidak sebanding dengan seluruh biaya pengolahan yang dikeluarkan para petani.
“Seharusnya harga segitu baru cukup bagi para buruh, bukan pemilik lahan dan buah,” katanya.
Pasalnya, jika dibandingkan dengan hasil buah yang sudah diolah menjadi minuman khas harganya sangat signifikan. Untuk satu cup atau dus minuman carica berukuran 250 mililiter bisa mencapai Rp 12.000-14.000. “Itu baru ukuran yang kecil. Belum dengan cup besar yang bisa sampai Rp 32.000 per karton dengan isi 6 gelas saja nya,” katanya.
Para petani melihat jika ada perbedaan harga yang sangat jauh. Oleh karenanya mereka meminta pada asosiasi pengusaha carica di Wonosobo untuk lebih memerhatikan nasib para petani tersebut.
Salah satu petani dan pengolah buah carica Rofik Aziz mengakui jika dalam beberapa waktu terakhir harga buah carica sedang mengalami penurunan. Sebab dalam dua tahun ke belakang, dunia pariwisata diguncang pandemi Covid 19.
“Itu yang membuat seluruh olahan jadi tidak bisa keluar. Semua macet karena tidak dibukanya tempat wisata. Karena bisnis ini kan masih sangat bergantung pada sektir wisata,” ujarnya.
Ia juga mengaku khawatir jika para petani enggan mempertahankan buah satu ini. Sebab ia merasa potensi buah ini masih sangat menguntungkan. “Ini baru saja mau tumbuh. Ekonomi sudah mulai bergerak. Termasuk wisata. Artinya tak lama lagi dimungkinkan harga buah akan naik kembali,” ujarnya. (git/ton)