RADARSEMARANG.COM, Ungaran – Persoalan petani Rawapening hingga kini belum tuntas. Belum ada tindakan dari pemerintah maupun pihak terkait untuk mengatasi lahan warga yang tergenang akibat normalisasi Rawapening. Pemkab Semarang sendiri belum bisa berbuat banyak. Yang dilakukan saat ini hanya sebatas memberi bantuan beras kepada warga terdampak.
Bantuan beras cadangan pemerintah (BCP) itu ,dibagikan kepada 7.798 jiwa yang tersebar di Tuntang, Ambarawa, Bawen dan Banyubiru.
Bantuan secara simbolis diserahkan oleh Bupati Ngesti Nugraha. Di hadapan orang nomor satu di Bumi Serasi itu, para petani mendesak agar pemerintah segera menurunkan debit air yang merendam lahan warga.
“Pemkab Semarang menetapkan tanggap darurat bencana selama 14 hari. Selama itu pemkab akan terus mengirimkan 400 gram beras ke petani. Setelah masa tanggap darurat pertama ini selesai, akan Kita lihat kondisinya nanti,” katanya usai menyerahkan bantuan di Balai Desa Kebondowo, Banyubiru, Selasa (7/9/2021).
Ngesti juga membebaskan pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi petani yang lahannya terdampak normalisasi. Saat ini pihaknya sedang melakukan koordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana untuk mengatasi luapan air rawa secara bertahap.
Kepala Dinas Pertanian Wigati Sunu menambahkan, ada 619 hektare lahan terendam. Areal persawahan itu tersebar di 16 desa di sekitar Rawapening. Kondisi ini mempengaruhi tingkat produksi pangan dan luas tambah tanam hingga 10 persen. Karena petani tidak bisa tanam selama kurang lebih dua tahun.
“Solusinya tentu meminta BBWS untuk membuka pintu air secara bertahap. Sehingga para petani dapat menanam padi pada musim tanam Oktober nanti,” terangnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kabupaten Semarang Bondan Marutohening mengatakan, pihaknya akan merekomendasikan BBWS, Pemprov Jateng dan Pemkab Semarang agar hak-hak masyarakat tidak terabaikan dengan adanya normalisasi Rawapening. Karena sudah dua tahun ini masyarakat tidak bisa bercocok tanam di tanah hak miliknya, padahal itu mata pencaharian utama mereka.
“Sampai saat ini belum ada penyelesaian terkait itu. Sehingga masyarakat merasa dirugikan selama dua tahun,” katanya.
Menurut Bondan, sebelum elevasi ditetapkan 463,3 meter oleh BBWS, keberadaan sawah di daerah bawah maupuun PLTA Jelok tidak ada masalah. Bondan juga menegaskan hingga saat ini belum pernah mendengar PLTA tidak berjalan karena kekurangan pasokan air dari Rawapening.
“Kemarin-kemarin sebelum penutupan pintu air juga tidak serapat seperti sekarang. Kan bisa diatur saat musim hujan dan kemarau,” tegasnya. (ria/zal)