RADARSEMARANG.COM – Pondok Pesantren (Ponpes) Al Musthofa Tebuireng 16, Dusun Wadas Wetan, Desa Wadas, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, mengusung konsep pesantren harmonisasi dengan alam atau green building.
Bencana tanah longsor, banjir, gunung meletus, dan lainnya, menjadi keprihatinan Pengasuh Ponpes Al Musthofa Tebuireng 16 Kiai Agus Ahmad Yani. Kerusakan alam itu akibat ulah tangan-tangan jahil manusia.
Atas keprihatinan itu, akhirnya membangun ponpes dengan konsep green building di lahan seluas 8900 meter persegi. Yakni, menerapkan 40 persen bangunan dan 60 persen ruang hijau dengan tanah yang ditanami berbagai jenis tumbuhan.
Tak hanya konsep bangunan yang diperhatikan, para santri juga diberdayakan untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Terutama peduli terhadap sampah. Suasana pondok pesantren pun terjaga kebersihannya. Tidak ada sampah botol minuman yang berserakan. “Santri sudah dilatih memilah sampah saat membuang sampah,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Setiap 2 sampai 3 bulan, santri juga sudah bisa menikmati hasil dari pemilahan sampah. Rata-rata bisa mendapatkan uang antara Rp 150 ribu hingga Rp 170 ribu. Walaupun jumlah uang yang didapat sedikit, lumayan bermanfaat. Bisa digunakan untuk membayar tagihan listrik, PDAM, dan lainnya.
“Terpenting dari itu adalah menanamkan mindset atau pola pikir santri bahwa alam juga harus dilestarikan dan dijaga agar tidak rusak. Makanya kami mengawal santri agar membiasakan diri melakukan pilah sampah,” tandasnya.
Pengurus pondok selalu menyediakan dua tong sampah organik dan anorganik. Tong sampah anorganik bertanda warna hitam. Sampah organik diolah menjadi kompos untuk memupuk tanaman di lahan sekeliling pondok yang cukup luas.
Dia mengaku, awalnya memang susah membiasakan pilah sampah ini. Namun sekarang para santrinya sudah terbiasa. Setiap anak diberikan tugas membersihkan sampah, lima sampai enam orang per hari. Pembawa sampah ada petugas sendiri dan yang menyapu juga petugas lain. “Kalau kita mau hidup damai, enak, sejahtera, sukses dunia dan akhirat, maka kita harus berdamai dengan alam yang indah ini,” ujarnya.
Pondok juga menerapkan kebijakan setiap akhirussanah, setiap santri yang mau menkhatamkan Alquran diharuskan sadaqah alam dengan menanam satu bibit pohon. Jenisnya tanamannya bebas, boleh pohon apa saja. Terpenting, tanaman tersebut akan menjadi tinggalan santri yang bersangkutan. “Mungkin 10 atau 15 tahun lagi mereka punya anak cucu dan kembali ke pondok, pohonnya sudah berbuah,” jelasnya.
Bahkan pihaknya berencana mengembangkan sungai yang mengitari pondok menjadi destinasi wisata air ke depannya. Sekarang, masih terbatas mengelola sungai tersebut. “Itu jangka panjang,” katanya.
Terkait konsep pembelajaran di pondok pesantren ini adalah tahfidzul quran. Para santri diajarkan menghafalkan Alquran dan wajib mengikuti salat fardhu berjama’ah lima waktu. Lima jam membaca Alquran sehingga setahun minimal hafal 5 juz. Santri yang ketahuan tidak mengikuti salat wajib lima waktu berjama’ah harus membaca Alquran sebanyak 3 juz sambil berdiri di lapangan.
“Setiap usai salat Subuh, Duhur, dan Asar, santri wajib mengaji Alquran satu juz. Setelah Maghrib dan Isya, mengaji selama 3 jam sampai pukul 22.00. Saya yakin sistem ini jarang diterapkan di pondok lain. Hanya di pondok ini yang menerapkan wajib melakukan salat fardhu lima waktu berjamaah di masjid,” ungkapnya.
Selama Ramadan, ponpes mengadakan jadwal yang sangat padat. Mulai bangun pukul 03.00 sampai tidur lagi ada kegiatan yang sebagian besar adalah mengaji Alquran. Meliputi pertama, membaca Alquran yang belum dihafal atau nderes, dan kedua mengulangi hafalan. “Setelah salat Asar persiapan mengaji kitab Hadis Arba’in Nawawi sampai 17.30. Kemudian persiapan berbuka puasa,” terangnya. (din/ida)