RADARSEMARANG.COM, TEMANGGUNG – Warga Dusun Demangan, Desa Candimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung menggelar tradisi sadranan makam Kiai dan Nyai Demang, Jumat (10/3). Masakan yang mereka bawa menggunakan tenong dimasak selama tiga hari sebelum prosesi sadranan tanpa dicicipi.
Warga membacakan tahlil di makam Kiai dan Nyai Demang. Usai pembacaan tahlil, mereka kembali ke rumah masing-masing mengambil tenong berisi makanan.
Antara lain, daging kambing, ingkung ayam, nasi, telur, kering kentang, tempe, dan lainnya. Tidak jauh dari makam, mereka berhenti sejenak menunggu warga lainnya. Saat semua warga telah berkumpul, mereka berjalan bersama seperti kirab membawa tenong masing-masing.
Sebelum berjalan, Wakil Bupati Temanggung Heri Ibnu Wibowo memberikan ucapan singkat mempersilakan warga mulai berjalan menuju makam. Heri berjalan paling depan dan diikuti seluruh masyarakat.
Setibanya di makam, mereka kembali memanjatkan doa. Kemudian, warga mulai membagi isi tenong dan bersiap menyantapnya. Namun, mereka tidak boleh menyantap makanan tersebut sebelum doa selesai. Usai doa, masyarakat menyantap makanan bersama-sama.
Suasana keakraban sangat terasa. Bahkan, saat jurnalis koran ini mengambil foto, warga berulang kali menawari untuk ikut menyantap ingkung bersama-sama seperti keluarga mereka.
Juru kunci makam Kiai dan Nyai Demang, Romidi menjelaskan, sadranan ini telah berjalan dari nenek moyang mereka. Dalam sadranan ini, warga telah menyiapkan makanan yang dibawa dalam tenong, tiga hari sebelum sadranan. Warga juga tidak boleh mencicipi makanan tersebut ketika memasaknya.
Meskipun tidak dicoba, makanan yang warga bawa terasa enak. Menurutnya, masakan tidak boleh dicicipi karena akan dimakan oleh orang-orang tua, sehingga tidak baik mendahului orang yang lebih tua.
“Dari nenek moyang dulu, mereka memberi pesan agar tradisi sadranan Dusun Demangan jangan sampai hilang. Semua masyarakat mengikuti sadranan ini dengan ikhlas. Waktu pelaksanaannya juga harus pada Jum’at kliwon,” katanya Jumat (10/3).
Dia menambahkan, warga asli Demangan yang berada di luar kota selalu pulang kampung saat sadranan. Sebab, warga Demangan memegang teguh tradisi ini. Warga tidak mengetahui nama asli Eyang Demang yang hidup pada era Majapahit. Setelah sadranan, acara dilanjutkan dengan pergelaran wayang setelah salat Jumat. (din/ton)