RADARSEMARANG.COM, Temanggung – Cukup memprihatinkan, hasil panen tembakau saat ini hanya laku di kisaran Rp 40-50 ribu perkilogram. Pasalnya harga tersebut belum mampu mengembalikam modal yang dikeluarkan mayoritas petani. Otomatis banyak petani yang tidak bisa membayar utang.
“Namun saat ini petani hanya bisa pasrah dengan keadaan. Modal tidak kembali, utang pun semakin bertambah. Bahkan lebih dari 80 persen pelaku pertembakauan di Temanggung tidak bisa membayar utang saat ini,” terangnya.
Kendati begitu, Kepala Desa Tlilir Fatkhur Rohman membenarkan bahwa harga tembakau di desanya ada yang tembus hinga Rp 850 ribu. Namun, jumlahnya memang sedikit dan tidak dirasakan semua petani.
“Tembakau yang mahal tersebut memang mempunyai karakter lahan yang baik secara turun temurun dan pemiliknya sudah mempunyai nama dari dulu, baik dari segi tanah, pengolahan, dan penggarapannya,” jelasnya.
Ia menuturkan, harga panen tembakau di desanya variatif dan masih banyak yang di kisaran Rp 50 ribu, Rp 85 ribu, dan Rp 90 ribu. “Bahkan kalau penjemuran tidak kering sehari, harga bisa sangat rendah karena kualitasnya menjadi turun,” pungkasnya.
Terkait santernya pemberitaan tentang salah satu pedagang tembakau yang melakukan transaksi miliaran rupiah semakin menimbulkan keresahan bagi petani dan pedagang tembakau di wilayah Kabupaten Temanggung. Dalam sepekan terakhir, kejadian ini menjadi buah bibir di kalangan petani maupun pihak perbankan dan pelaku pertembakauan.
Seperti diketahui Senin (22/11) lalu salah satu pedagang tembakau asal Desa Tlilir, Kecamatan Tlogomulyo, bernama Haji Rame melakukan transaksi niaga tembakau dengan total nominal uang yang fantastis. Yakni menyentuh angka Rp 20-50 miliar yang dibayarkan langsung kepada para petani secara tunai. Haji Rame sendiri mengaku membeli tembakau petani mulai dari Rp 150 ribu hingga Rp 1.125.000 perkilogram.
Ketua Asosiasi Petani Temanggung Indonesia (APTI) Temanggung Siyamin prihatin atas dampak yang ditimbulkan oleh berita tersebut. Karena realitasnya berbanding terbalik dengan berita tersebut. Bahkan, kejadian tersebut menimbulkan beberapa asumsi baik secara politis maupun sosial.
Secara politis, bisa menjadi alat pembenar bagi pemerintah untuk tetap menaikkan cukai tembakau lantaran petani tembakau dianggap sangat makmur atas hasil panen tahun ini. Padahal, kenaikan cukai tembakau akan berdampak pada pengurangan harga pembelian bahan baku yang tak murah dan merugikan serta memberatkan petani tembakau.
Secara sosial, menimbulkan kecemburuan dan kerawanan sosial bahkan sakit hati. “Karena kondisi riil di lapangan, petani atau pedagang tembakau mayoritas atau 90 persen merugi. Namun kami tidak menafikan kalau ada tembakau yang laku sampai Rp 500 ribu perkilogram. Namun itu hanya ada pada beberapa petani dan beberapa keranjang,” katanya. (nan/ida)