RADARSEMARANG.COM, Solo – Kematian Gilang Endi Saputra menyisakan luka yang mendalam bagi pasangan suami istri Sunardi dan Endang Budiarti, warga Dukuh Keti, Desa Dayu, Kecamatan Karangpandan, Karanganyar.
Sebelum mengikuti kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Resimen Mahasiswa (Menwa) UNS, Gilang yang masih berusia 21 tahun ini meminta kepada orang tuanya untuk dicarikan sepatu pakaian dinas lapangan (PDL) dengan bahan seperti kulit jeruk.
Gilang yang merupakan mahasiswa UNS Jurusan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Fakultas Sekolah Vokasi Semester 3 ini diketahui mengikuti diklat Menwa selama 9 hari, mulai dari 23 hingga 31 Oktober 2021 tersebut.
Selain itu, Gilang yang dikenal sebagai pribadi yang pendiam dan sempat mendaftarkan diri sebagai calon taruna baru di Jogjakarta tersebut, sempat melakukan potong rambut pada Kamis (21/10) malam. Sebelum jumat (22/10) pagi melakukan kegiatan Diklat Menwa.
Ditemui usai proses pemakaman, ayah Gilang Endi Saputra yakni Sunardi, mengungkapkan, sebelum mengikuti proses diklat, Gilang sempat meminta kepada orang tua untuk mencarikan sepatu PDL yang berbahan seperti kulit jeruk.
Lantaran ayah gilang merupakan pensiunan anggota TNI dan sempat bertugas di Koramil Karangpandan. Sunardi kemudian mencari sepatu inventaris miliknya untuk bisa di gunakan Gilang dalam mengikuti kegiatan diklat tersebut.
“Dia semangat sekali, keinginannya sangat menggebu–gebu. Saat ingin mencari sepatu itu, saya cari–cari koleksi saya, dan kebetulan saya masih menyimpan sepatu itu dengan baik dan masih baru. Saya cuci dan semir, kemudian saya berikan sepatu itu. Setelah dapat sepatu, gilang malamnya potong rambut. Dan malah kelihatan ganteng seperti calon Akmil,” terang Sunardi, dengan tabah.
Sunardi mengaku, terakhir kali bertemu dengan anaknya pada hari Jumat (22/10) pagi saat Gilang hendak berangkat ke kampus. Setelah itu, ia sudah tidak berkomunikasi lagi dengan putra pertamanya tersebut. Lantaran ia menduga kalau saat itu anaknya sudah mulai aktif mengikuti kegiatan Diklat Menwa.
“Terakhir ketemu ya jumat pagi itu, Sabtu dan Minggu saya tidak tahu kondisinya seperti apa. Baru dini hari tadi ada kabar kalau anak saya berada di rumah sakit dan sudah dalam kondisi meninggal dunia,” ucap Sunardi.
Nardi mengungkapkan, setelah ia datang ke RSUD dr. Moewardi Surakarta, sempat mendapat keterangan dari pihak kampus anaknya sempat mengalami kesurupan. Namun karena tidak tega dengan kondisi anaknya yang sudah berada di kamar mayat. Sunardi meminta agar pihak rumah sakit untuk segera membawa pulang jenazah anaknya tersebut.
“Katanya itu sebelumnya anak saya sempat kesurupan. Karena saya tidak tega, saya minta ke pihak rumah sakit untuk membawa jenazah anak saya untuk dibawa kerumah duka. Karena ada kerabat yang ingin melihat kondisi anak saya. Saat dibuka, mereka (kerabat–red) kaget bagian muka anak saya itu penuh dengan darah yang sudah mengering,” ungkapnya.
Melihat hal tersebut, kemudian Sunardi melaporkan kejadian tersebut ke Polres setempat. Untuk dilakukan proses otopsi.
“Kalaupun saya tahu seperti itu pas di rumah sakit mungkin saya langsung bisa laporan itu. Tapi saya tidak tega, makanya kami minta untuk dibawa ke rumah saja. Tapi saat dibuka, kok kenyataannya seperti itu. Dan oleh kerabat mengusulkan untuk melaporkan ke Polisi,” papar Sunardi.
Lebih jauh Sunardi mengatakan, pihaknya sebenarnya tidak ingin mencari kesalahan–kesalahan. Akan tetapi pihaknya ingin mengetahui penyebab pasti hal yang menyebabkan anaknya tersebut meninggal dunia.
“Saya itu tidak mencari kesalahan siapapun. Saya sudah ikhlas, akan tetapi saya hanya ingin tau apa penyebab kematian anak saya itu. Saya sekeluarga menyerahkan sepenuhnya ke pihak kepolisian,” pungkas Sunardi. (rud/dam/Radar Solo/bas)