RADARSEMARANG.COM, Semarang – Penentuan kenaikan upah di Kota Semarang berjalan alot. Rapat tertutup yang digelar Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) bersama Dewan Pengupahan di kantor Disnaker, Selasa (29/11) kemarin, masih deadlock. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) belum sejalan dengan Pemkot Semarang.
Kepala Disnaker Kota Semarang, Sutrisno menyampaikan, untuk menentukan UMK (Upah Minimum Kota) memang harus seimbang antara keputusan pemerintah dengan keinginan buruh. Menurutnya, rapat pleno tertutup bisa mengambil keputusan terbaik bagi buruh ataupun pengusaha.
“Usulan UMK ini ibaratnya sandal, tidak bisa jalan bersama. Kalau mau jalan bareng ya jatuh, Apindo masih mau dengan PP 36. Serikat pekerja ingin kenaikan. Kami sepakat dengan serikat pekerja dan akan kami usulkan kepada Bu Plt Wali Kota,” kata Sutrisno, Selasa (29/11).
Menurutnya, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Tenaga Kerja telah mengeluarkan simulasi pembagian yang baru terkait UMK. Skema itu berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2022 terkait dengan perhitungan UMK Tahun 2023.
“Memang ada rumusan di luar PP 36, misalnya upah minimum tahun berjalan dengan inflasi, dan perkalian pertumbuhan ekonomi. Ada pula upah minimum tahun berjalan,” terangnya.
Pihaknya akan membawa usulan yang telah disepakati kepada Plt Wali Kota Semarang, setelah itu akan diusulkan kepada Gubernur Jawa Tengah. Selanjutnya kenaikan UMK 2023 akan diumumkan Desember 2022.
“Permintaan buruh naiknya 11 sampai 13 persen, tapi validnya kita tunggu pertemuan dengan dewan pengupahan, dan pengesahan dari gubernur,” ungkapnya.
Anggota Dewan Pengupahan Kota Semarang dari Serikat Pekerja KSPN, Slamet Kuswanto, mengaku telah melakukan survei untuk mengetahui angka terakhir terkait kebutuhan hidup layak. Survei tersebut dilakukan di lima pasar tradisional, yakni Pasar Karangayu, Jatingaleh, Langgar, Mangkang, dan Pedurungan. Hasilnya, UMK 2023 yakni Rp 3.683.999,90 atau naik 29,94 persen. Atas dasar survei tersebut pihaknya meminta pemerintah untuk tidak mengacu PP Nomor 36 Tahun 2021.
“Sebagai gantinya, Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2022 sebagai formulasi khusus menentukan UMK tahun 2023. Hasilnya sebesar Rp 3.600.348.78 atau naik Rp 225.327 atau 7,95 persen,” jelasnya.
Sementara itu, dari Apindo dengan tegas menolak usulan UMK 2023 yang diajukan oleh serikat pekerja dan pemerintah yakni sebesar 7,95 persen. Idealnya kenaikan UMK Kota Semarang sebesar 4,31 persen.
“Serikat pekerja dan pemerintah mengusulkan kenaikan UMK berdasarkan Peraturan Pemerintah (Permen) Tenaga Kerja Nomor 18 Tahun 2022. Permen ini harusnya tidak sah, karena bertentangan dengan undang-undang,” kata Sekretaris Apindo Kota Semarang sekaligus Anggota Dewan Pengupahan Kota Semarang, Nugroho Aprianto.
Buruh, kata dia, berpegang pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 18 Tahun 2022 sedangkan Apindo berpegang pada PP 36 Tahun 2021. Nugroho memaparkan, aturan yang dipegang buruh ini bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi seperti UU Nomor 13 Tahun 2003, kemudian UU Nomor 2020 Cipta Kerja dan surat keputusan Mahkamah Agung Nomor 91 Tahun 2020.
“Jadi intinya Keputusan Mahkamah Agung itu mengamanatkan tidak boleh ada kebijakan sebelum perubahan UU Cipta Kerja itu tuntas,” tandasnya.
Ia menjelaskan, saat ini Apindo dan 10 asosiasi pengusaha di tingkat nasional telah mengajukan uji materi dan gugatan Permennaker 18 Tahun 2022 ke Mahkamah Agung dengan menujuk Denny Indrayana sebagai kuasa hukum.
“Jelas ini sudah menyalahi, kami mengusulkan kenaikan UMK sebesar 4,31 persen atau Rp 2.957.264,89. Saat ini kita juga sedang melakukan uji materi di Mahkamah Agung,” pungkasnya. (den/zal)