RADARSEMARANG.COM, SEMARANG – Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI menindaklanjuti aduan masyarakat terkait BPJS Kesehatan dan JKN di Jawa Tengah.
Ketua BAP DPD RI Ajiep Padindang mengatakan, dalam rapat dengar pendapat yang digelar di kantor DPD Jateng tersebut permasalahan yang timbul yakni terjadi tidak sinkron data antara dari Kementrian Sosial dengan Pemerintah Daerah (Pemda).
Dari hasil rapat itu, terungkap bahwa kementrian sosial ternyata tidak menyerahkan datanya kepada pemerintah daerah, sehingga pemda tidak mengetahui adanya selisih data.
“Ada sebagian dari kewajiban pembayaran kredit kepada BPJS itu wajib dibayarkan. Nah, data ini tidak diketahui Si A atau Si B, apakah sudah meninggal atau sudah pindah. Itu yang kami gali, apa penyebabnya sehingga nanti bisa diselesaikan di pusat” ujarnya.
BAP nantinya akan menemui Direksi BPJS maupun Kementerian Kesehatan, Kementrian Sosial, bahkan Kementrian Dalam Negeri yang berkaitan dengan data penduduk dan pencatatan sipil (dukcapil) di kabupaten/kota. Ia menilai, data yang kurang sinkron berasal dari pelayanan kesehatan antara BPJS dengan dukcapil.
Diakuianya, rekonsiliasi data itu memang tidak cepat. Sehingga muncul masalah peserta BPJS yang sudah meninggal masih tercatat. Berdasar data itu, Pemerintah Daerah membayar kewajiban padahal sudah meninggal.
“Karena kalau belum dihapus, data-data itu akan dipakai BPJS untuk menagih atau ketika mau ke pelayanan, data masih terlihat. Itu sebetulnya merugikan daerah, jadi kesadaran masyarakat juga sangat diperlukan. Yang sudah meninggal laporkan ke kepala desa atau lurahnya supaya dicabut datanya di dukcapil,” tegasnya.
Ia mengungkapkan, permasalahan seperti ini juga dialami provinsi lain. Adanya permasalahan data, hingga permasalahan beban pemda yang dirasakan berat untuk menanggung sebagian premi.
Selain dua hal itu, ada catatan lain yakni pelayanan yang masih begitu belum memuaskan baik di fasilitas kesehatan seperti klinik, puskesmas, atau rumah sakit yang juga disebabkan oleh tarif yang dibayarkan oleh BPJS masih rendah.
Di sisi lain, ia juga menyoroti asumsi bahwa masih banyak yang harus ditanggulangi oleh pemerintah kabupaten/kota. Atas temuan itu, pihaknya akan mendorong 90 persen jaminan kesehatan masyarakat di tanggung jawab pemerintah pusat.
“Di daerah jangan lagi dibebankan kepada APBD Provinsi maupun Kabupaten supaya dana itu dapat diarahkan kepada fasilitas kesehatan agar pelayanan menjadi lebih baik. Untuk iurannya dibayarkan oleh pemerintah pusat, saya kira begitu,” paparnya.
Mengenai target layanan jaminan kesehatan 98 persen di tahun 2023 mendatang, ia tidak optimis Jateng bisa menyelesaikan. Ia mengatakan jika pemerintah harus bekerja keras untuk mensinkronkan data. Namun, untuk saat ini dengan angka 87,06 persen penduduk yang sudah ter-cover BPJS, sudah menjadi capaian yang baik.
Sementara itu, Surmiyati analis muda BPJS Jateng dan DIY menuturkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Jawa Tengah cukup tinggi. Capaian kepesertaan sampai dengan 1 November untuk di Jawa Tengah sebesar 87,06 persen. Dari jumlah penduduk jawa tengah sekitar 37,4 juta jiwa, sudah mencapai 32,6 juta jiwa yang ter-cover JKN.
“Jadi yang sudah menjadi cakupan kami itu 87,06 persen” ucapnya.
Ia menyebut, dari jumlah tersebut ada yang aktif dan tidak aktif. Rinciannya, untuk yang tidak aktif ada sekitar 3,9 juta peserta, kemudian yang aktif sekitar 28,7 juta peserta.
“Nah itu, kalau di Jawa Tengah dari total cakupan peserta 52,97 persen itu PBI APBN, dan sekitar 8,07 persen itu PBI APBD. Sisanya itu ada dari peserta PPU BU, PBPU, PPU PN, dan BP,” tuturnya. (ifa/mg24/mg26)