RADARSEMARANG.COM, Semarang – Kampung Batik di Kelurahan Rejomulyo, Semarang Timur, kini telah menjadi salah satu destinasi wisata andalan Kota Semarang. Kampung tersebut juga telah berlosek, penuh hiasan warna-warni.
Namun di balik itu, kampung ini memiliki jejak sejarah memilukan. Kampung tak jauh dari Museum Kota Lama Bubakan ini pernah dibakar oleh tentara Jepang.
Nah, untuk mengenang kejadian itu, Sabtu (15/10) kemarin, warga setempat menggelar aksi teatrikal peperangan melawan penjajahan Jepang. Tradisi Titiran ini merupakan rangkaian kegiatan peringatan Pertempuran Lima Hari di Kota Semarang, yang terjadi pada 15 -19 Oktober 1945.
Suara titir kentongan membuka sejarah 77 tahun lalu itu saat pembakaran kampung padat penduduk ini. Kobaran api menghanguskan permukiman padat saat terjadinya Pertempuran Lima Hari di Kota Semarang. Aksi teatrikal warga ini menggambarkan kejadian pada 18 Oktober 1945 silam.
“Ini juga merupakan bentuk nguri-nguri budaya. Apapun ini jas merah atau jangan lupakan sejarah. Nguri-nguri budaya Pertempuran Lima Hari yang ada di Kota Semarang ini harus kita ingat,” ungkap Plt Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu saat menghadiri acara tersebut, kemarin.
Mbak Ita –sapaan akrabnya– mengakui, kegiatan semacam ini sudah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, Kampung Batik ini pernah menjadi saksi bisu, perjuangan masyarakat setempat dalam melawan penjajah.
“Kampung Batik atau Kampung Djadoel ini pernah menjadi salah satu saksi bisu, saksi sejarah terjadinya Pertempuran Lima Hari di Semarang. Jadi, ini adalah rangkaian karena terjadinya kan tanggal 13, 14, 15 Oktober ya,” ujarnya.
Menurutnya, perjuangan bangsa Indonesia sampai sekarang belum berhenti. Mbak Ita menjelaskan, peperangan sekarang ini bukan fisik. Namun perang melawan Covid-19. Termasuk juga perang melawan stunting.
“Karena covid ini belum habis. Masih ada sedikit, sehingga protokol kesehatan harus dijalankan. Kedua adalah memerangi kemiskinan. Kita tahu efeknya dari pandemi covid, yakni perekonomian masyarakat yang semakin berkurang,” katanya.
Sekarang ini, lanjut dia, Kampung Batik telah menjadi perhatian dan sebagai destinasi wisata. Pemerintah Kota Semarang juga menjadikannya sebagai kampung tematik yang mendapatkan dana stimulus.
“Tentunya sekarang ini sudah banyak yang paham dengan Kampung Batik atau Kampung Djadoel ini. Dulu mungkin orang yang pertama-pertama ada acara gini sepi. Sedikit yang tahu. Alhamdulillah untuk yang kesekian kalinya orang sudah paham,” jelasnya.
Mbak Ita mengaku bangga dengan perkembangan Kampung Batik. Kampung ini sekarang, banyak dikunjungi para siswa, kalangan milenial, dan mahasiswa, yang datang dari luar daerah, bahkan luar provinsi.
“Ini merupakan salah satu dari pendidikan kurikulum merdeka. Sehingga banyak anak dan mahasiswa dari luar daerah, datang ke sini untuk mempelajari bagaimana sejarah yang ada di Kota Semarang, khususnya Pertempuran Lima Hari ini,” katanya.
Seperti diketahui, Pertempuran Lima Hari di Semarang terjadi pada 15 -19 Oktober 1945. Pertempuran sengit antara pejuang Indonesia ini awalnya terjadi di bundaran Tugu Muda atau Lawang Sewu. Kemudian merambah hingga ke Kampung Batik.
Kampung Batik menjadi salah satu lokasi perjuangan Badan Kemanan Rakyat (BKR) bersama warga Kota Semarang melawan Jepang. Sedikitnya 200 rumah warga Kampung Batik dibakar oleh tentara Jepang karena perlawanan tersebut. (mha/aro)