RADARSEMARANG.COM, Semarang – Kota Semarang menjadi daerah dengan jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terbanyak. Data tersebut berdasarkan pada catatan Lembaga Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia (LRCKJHAM) Jateng.
“Ada sejumlah laporan yang kita terima dari daerah Kendal, Salatiga, Pati, Blora, Demak, tapi paling banyak dari Kota Semarang,” kata Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi KJHAM, Citra Ayu Kamis (6/10).
Ia membeberkan, dalam dua tahun terakhir tercatat 45 perempuan menjadi korban KDRT. Rinciannya, tahun 2021 terdapat 23 kasus KDRT, sementara pada tahun 2022 terhitung sejak Januari – September sebanyak 22 laporan sudah diterima oleh KJHAM Jateng.
Citra menjabarkan, sebaran kasus KDRT Jateng yakni Kota semarang sebanyak 35 kasus, Kendal satu kasus, Pati satu kasus, Blora satu kasus, Semarang satu kasus, Grobogan satu kasus, Jepara satu kasus, Kota Salatiga satu kasus, dan Demak satu kasus. Sementara dua kasus lainnya dari luar pulau Jawa.
Kantor LRCKJHAM yang berada di Kota Semarang turut memengaruhi banyaknya laporan berasal dari kota lumpia ini. Sedangkan, korban dari daerah lain hanya sedikit yang mengadu. Diperkirakan terkait jarak atau kurangnya informasi terkait pengaduan kasus. “Bisa juga mereka sudah mengadu di PPT/P2TP2A di kabupaten masing-masing,” imbuhnya.
Citra menyebutkan, dari angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah. Dengan catatan, jika korban berani speak up melapor. Ia menilai kasus ini merupakan fenomena layaknya gunung es. Lebih banyak yang terpendam daripada yang terungkap di permukaan. Namun, ia meyakini masih banyak korban yang tidak berani melapor. “Kemungkinan akan bertambah jika ada korban yang berani melapor,” tambahnya.
Citra menambahkan, dari puluhan kasus tersebut, rata-rata para korban memilih menyelesaikan masalahnya di jalur perceraian daripada membawa ke ranah hukum. Korban KDRT ini didominasi berusia 25 tahun ke atas. “Dari yang kami dampingi secara hukum, korban melaporkan pelaku KDRT di kepolisian,” kata Citra.
Citra berpesan, bagi korban KDRT untuk berani melapor. Terlebih sudah ada undang-undang yang mengatur. Dengan begitu, mereka dapat menuntut keadilan serta dapat melindungi diri. “Supaya tidak mendapat kekerasan lagi. Saya harap jangan takut untuk melapor,” harapnya. (ifa/ida)