RADARSEMARANG.COM, Semarang – Ratusan jamaah hadir ketika peringatan Maulid Nabi di Masjid Menara Layur Jumat (7/10/2022) petang. Rintikan hujan setelah Salat Maghrib menjadikan suasana malam Maulid Nabi yang dipimpin oleh Maulhasana Habib Hamid Sholeh Baagil semakin sejuk.
“Dengan pembacaan maulid ini, hati kita akan merasa sejuk dan tenang, mas,” ujar salah satu jamaah, Danang Arfyanto.
Salah satu pengurus Rabithah Al-Alawiyah Cabang Semarang, Habib Ali Habibi Al-Munawar, menjelaskan pada 12 Rabiul Awal merupakan tradisi di semua masjid Ahlu Sunnah Wal Jamaah di seluruh Nusantara. Ketika itu, sanad ilmu melalui para ulama dari Mekah dan Madinah.
“Di sini dibuka kitab-kitab maulid yang sudah ada di Mekah-Madinah sebelum wahabi masuk. Sehingga merubah corak haramain seperti sekarang,” ujarnya.
Ciri-ciri yang dapat dilihat dari tradisi peringatan Maulid Nabi ini terlihat pada peringatan besar, khususnya Rabiul Awal dibacakan maulidurrasul pada tanggal 1 – 12 Rabiul Awal. Pada 12 Rabiul Awal jadi satu kegiatan.
Masjid Menara yang berada di Layur ini merupakan salah satu masjid tertua di Kota Semarang mengikuti puluhan tahun kegiatan maulid rasul pada 12 Rabiul Awal mencapai puncaknya. “Hampir semua orang tidak hanya sekitar sini, merekapun berdatangan,” ujarnya.
Rangkaiannya dimulai dari pembukaan, pembacaan salah kitab maulid seperti Al-Barzanji, Ad-Diba’i, dan yang paling baru di Masjid Menara adalah Simtuddurror. “Sebelum akhir, ada sedikit maidhotul hasanah langsung dilanjut dengan Salat Isya berjamaah,” ujarnya.
Kitab Maulid biasanya berisi cerita kehidupan Nabi Muhammad SAW. Maulid Simtudduror dibaca karena orang-orang yang mendapatkan sanad atau keilmuan masih dekat dengan Simtuddurror. “Jadi Simtudduror paling tidak penulisnya meninggal 1910an, sehingga masih baru di Indonesia. Dibandingkan Maulid Al-Bazanji yang kurang lebih ada sejak 250 tahun lalu,” jelasnya.
Karena banyak yang masih menangi, kata orang jawa bilang, sehingga murid dari Para Habaib senang membaca bersama-sama. “Karena kurun waktunya dengan penulis dekat, kedua dibawa oleh para habaib di Indonesia ini,” ujarnya.
Pengisi atau penceramah tidak ditunjuk, tetapi biasanya pemimpin Masjid Menara Layur meminta salah satu yang hadir untuk mengisi sedikit kultum. “Biasanya Habib Hasan bin Abdurrahman Al-Jufri. Jadi pemimpin meminta yang hadir di sana. Kecuali ada tamu dari luar,” katanya.
Keunikan maulidan di Masjid Menara Layur ini terletak pada pembacaan maulid kebanyakan khusus laki-laki. Karena membawa tradisi di daerah Arab. “Setiap kegiatan Islam ini banyak laki-lakinya, karena jarang wanita berkegiatan di luar rumah. Termasuk Masjid Menara, mungkin masjid ini satu-satunya tidak ada tempat salat bagi wanita,” ujarnya.
Hampir di semua musala dan masjid di Kampung Melayu Kelurahan Dadapsari ada pembacaan maulid. Waktu dimulainya pembacaan maulid. “Mungkin ramai pada tahun 1970an, mungkin awal imigran Arab pada 1920 sudah ada. Tradisi lama itu,” katanya.
Pembacaan Maulidurrasul merupakan pengenalan sosok Nabi Muhammad SAW untuk generasi yang akan datang. Karena jika tidak ada pengenalan melalui syair, kata dia, masyarakat yang setelah ini tidak akan mengenal Nabi. “Sehingga orang-orang dulu menulis, dan menjadi sebuah kitab dibaca itu mempunyai nilai tersendiri,” ujarnya.
Sebetulnya ada ribuan kitab maulid di dunia, beberapa di Indonesia. Ketika itu dibacakan, ada pesan yang dapat tersampaikan kepada pembacanya. “Keberadaan Nabi Muhammad ini tidak sekedar dibaca, tetapi diteladani. Membaca yang berulang-ulang menimbulkan rasa rindu. Sehingga rasa rindu yang dibutuhkan saat ini. Ini sesuatu yang menjadi rahasia tersendiri,” tuturnya.
Perlu diketahui, Masjid Menara Layur dulunya terkenal Menara William 1 yang didirikan pada tahun 1750an. Ketika didirikan menara untuk lalu lintas kapal, tidak boleh ada pembangunan.
Namun, setelah 50 tahun setelah pembangunan menara, menara tersebut tidak difungsikan. Sehingga tanah disekitar dibangun untuk dijadikan musala oleh komunitas muslim. “Orang-orang dulu bercerita, dulu menara belandanya dibandingkan masjidnya. Mungkin itu bentuk pemerintah Hindia-Belanda memberikan kebebasan orang beragama, karena komunitas Islam semakin besar di Kampung Melayu, dan Belanda membolehkan mendirikan tempat ibadah,” ujarnya.
Pada tahun 1802 pemerintah Kota Semarang. Dulunya, menara tersebut difungsikan sebagai tempat adzan. Karena banyak yang lapuk seperti di tangga, tidak ada aktifitas di menara. “Mungkin sekitar 1970an masih difungsikan,” ujarnya. (fgr/mg24/mg25/bas)