RADARSEMARANG.COM, SEMARANG – Budayawan, seniman, dan sejarawan asal Semarang Djawahir Muhammad tutup usia Kamis (22/9) lalu, pukul 20.15 WIB. Djawahir menghembuskan napas terkahirnya setelah menjalani perawatan empat hari di Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND). Kepergian almarhum di usia 68 tahun ini membuat kalangan seniman kehilangan sosok yang dinamis dan selalu mengayomi juniornya.
Almarhum Djawahir Muhammad meninggalkan seorang istri, dua orang anak, dan empat orang cucu. Pantauan koran ini di Jalan Tandang Ijen, Jomblang Candisari, rumah duka dipenuhi ratusan pelayat sejak pagi. Mulai dari tetangga, seniman, dan lainnya. Mereka mengenakan pakaian serba hitam. Sekitar pukul 10.00 WIB Djawahir dimakamkan di Pemakaman Begog.
Salah satu teman senimannya, Hartono mengatakan, Djawahir Muhammad adalah sosok yang dinamis dan melindungi kegiatan-kegiatan yang bersifat kesenian. Apapun bentuk perubahan yang ada di kesenian Djawahir selalu siap dan memberikan pengajaran pada seniman lainnya. Djawahir memilik karya yang melegenda yakni Semarang Sepanjang Jalan Kenangan tahun 1996, Membela Semarang tahun 2011, dan aktif menulis Gambang Sem(b)arang di RADARSEMARANG.COM.
“Beliau ini orangnya kreatif, banyak inisiatifnya. Beliau juga responsif dan suka sosialisasi tentang kesenian,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM usai mengikuti prosesi pemakaman Djawahir Muhammad di Pemakaman Begog, Jumat (23/9).
Pada tahun 1970-an almarhum pernah mendirikan Teater Kuncup, tahun 1980-an mendirikan Teater Aktor Studio, serta sejumlah event kesenian yang selalu ia dukung. Menurut Hartono, senior panutannya ini adalah orang yang gemar bersilaturahmi. Dari sinilah banyak yang menghormatinya. Baginya budayawan ini mempunya jiwa sosial yang tinggi.
“Waktu tsunami di Aceh, beliau menggalang dana dan disumbangkan,” akunya.
Anak dari Djawahir Muhammad Bondan Prsetyo mengatakan sudah ikhlas dengan kepergian ayahnya. Menurut Djawahir ia kenal sebagai sosok ayah yang bersahabat.
“Saya sebagai anak mengenal beliau adalah sosok yang lengkap. Ya sebagai bapak, guru, dan sahabat,” akunya.
Menurutnya, Djawahir mempunyai cara tersendiri untuk mendidik anak-anaknya. Yakni dengan memberikan contoh langsung di kehidupan nyata. Tidak menggurui ataupun mendoktrin anaknya sesuai dengan keinginannya.
“Saya suka dibelikan buku, intinya suruh baca yang banyak. Saya selalu diberikan pengajaran tentang kasih sayang terhadap siapapun baik binatang, tumbuhan, dan sesama manusia,” tambahnya.
Bondan mengaku Ayahnya ini sudah pasif di dunia kesenian sejak lima tahun terakhir. Saat ia terserang penyakit stroke. Di tahun pertama sakit, hasrat almarhum Djawahir yang juga mantan angggota Fraksi PPP DPRD Kota Semarang terhadap kesenian masih tinggi. Setelah kesehatanya menurun, hasrat terhadap dunia seni juga mulai berkurang.
“Awal sakit hasrat bapak terhadap seni masih tinggi. Masih ingin berbuat banyak, tapi ketika kondisinya semakin menurun hasratnya mulai ditekan sendiri dan dia fokus ke kesehatan,” imbuhnya.
Menurut Bondan ada satu keinginan sang Ayah yang belum tersampaikan. Yakni menyelesaikan studi Doktornya. Ketika sudah menyelesaikan disertasi sejarawan ini jatuh sakit akibat terkena stroke. Ujian doktornya pun belum terlaksana.
“Sebenarnya yang menjadi sakit karena bapak itu ingin sekali merampungkan gelar doktornya. Jadi mau menyelesaikan pendidikannya sampai tuntas. Memang sudah tinggal ujian, tapi beliau sakit. Mungkin ini keinginan bapak yang belum tersampaikan,” pungkasnya. (kap/zal)