RADARSEMARANG.COM, Semarang – Mimbar berkelir coklat dengan ukiran berbentuk tumuhan dengan suluran daun ini terbuat dari kayu jati kuno. Tampak berdiri kokoh di dalam Masjid Agung Semarang atau yang biasa disebut dengan Masjid Agung Kauman.
Tak hanya digunakan oleh para khotib. Mimbar ini mempunyai nilai historis bagi warga Semarang, khususnya jamaah Masjid Agung Kauman. Usianya sudah ratusan tahun. Mimbar ini sudah ada sejak tahun 1750. Kini berumur 272 tahun.
Saat datang ke Masjid Agung Kauman Selasa (16/8) sore, RADARSEMARANG.COM disambut baik oleh takmir masjid. Pengurus masjid mempersilakan masuk ke kantor takmir.
RADARSEMARANG.COM pun bertemu dengan Sekretaris Takmir Masjid Kauman Muhaimin. Pria paruh baya ini menceritakan dengan detail saksi bisu seorang pahlawan perjuangan yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pertama kalinya di Kota Semarang pada tahun 1945.
“Iya memang benar, mimbar ini dulu digunakan untuk memproklamirkan Hari Kemerdakaan Indonesia oleh salah satu pengurus masjid ini,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Pria 52 tahun ini menceritakan, kala itu Kemerdakaan Indonesia jatuh pada hari Jumat di bulan Ramadan. Seorang aktivis perjuangan sekaligus pengurus Masjid Agung Semarang bernama dr Agus ini mendengar berita ketika Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan melalui radio gelap pada pukul 10.00.
Kemudian dr Agus bergegas pergi ke masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Menjelang salat Jumat inilah, dr Agus berdiri di atas mimbar dan mengumumkan kemerdekaan Indonesia kepada para jamaah.
“Waktu zaman dahulu kegiatan masjid akan di-sender oleh salah satu radio yang dulu masih di bawah naungan Jepang. Kemudian dr Agus ini berdiri di atas mimbar dan mengumumkannya kepada jamaah. Otomatis semua orang yang mendengarkan radio juga mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka,” tambahnya.
Menurutnya, hal ini dilakukan dr Agus agar masyarakat Indonesia lebih cepat mengetahui dan tersebar ke pelosok negeri bahwa bangsa Indoesia telah merdeka dari para penjajah. Kabar kemerdakaan ini pun sampai di telinga tentara Jepang yang masih berjaga di Kota Semarang.
Selepas salat Jumat dr Agus langsung pergi karena ia tahu telah menjadi buronan bala tentara Jepang. Ia pun lari ke Jakarta. Namun akhirnya meninggal. Muhaimin mengaku dr Agus ini adalah seorang perantau. Di Kota Semarang dr Agus menimba ilmu agama kepada kakeknya.
“Keluarganya di sini saya kurang tahu. Beliau ini seorang perantau yang akhirnya ikut mengaji kepada kakek saya. Sampai saat ini saksi bisu ketika dr Agus membacakan proklamasi sudah tidak ada. Yang saya tahu, beliau meninggal di Jakarta,” imbuhnya.
Selain mengejar dr Agus, tentara Jepang juga mengepung jamaah yang berada di Masjid Kauman yang saat itu masih milik Bupati Semarang. Hingga akhirnya ada perlawanan dari rakyat Semarang yang disebut dengan pertempuran Lima Hari di Semarang pada 15 Oktober 1945. “Tak lama setelah kejadian ini, ada perlawanan dari rakyat yang dikenal dengan perang lima hari di Semarang,” akunya.
Ia menambahkan pernah mendapat cerita dari Hj Asomah, ibunya yang menjadi saksi keberadaan dr Agus di Kauman. Menurutnya, dr Agus dikenal sebagai dokter yang baik dan selalu menolong warga yang sakit dan kesusahan. Dengan sukarela ia membantu masyarakat di Kauman. Selain itu dr Agus juga aktif di kepengurusan masjid. Bahkan menjadi aktivis perjuangan yang sangat berani dan menginginkan Indonesia meraih kemerdekaan.
Selepas kepengurusan masjid jatuh kepada masyarakat di akhir tahun 2021, ayah dari tiga anak ini mengaku sempat didatangi oleh masyarakat sekitar yang menyaksikan pidato dr Agus saat membacakan proklamasi.
“Banyak orang yang datang kesini dan membenarkan bahwa dr Agus membacakan proklamasi. Saat khutbah juga menyinggung tentang Kemerdekaan Indonesia,” katanya.
Sebagai penghargaan pada tahun 1953, Masjid Kauman didatangi oleh Presiden Soekarno yang menyempatkan datang untuk melaksanakan salat Jumat dan menyampaikan pidatonya.
“Kala itu pidato Presiden Soekarno berisi ucapan terima kasih, karena Masjid Kauman ini menjadi salah satu tempat untuk menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan RI,” ujarnya.
Muhaimin berusaha terus merawat mimbar tersebut dengan baik. Salah satunya dengan dicat ulang agar terlihat bagus, serta ditambah dengan ornamen yang sempat hilang.
“Dulu itu ada sayapnya di sebelah kanan dan kiri mimbar. Karena umurnya sudah lama, jadinya rusak. Saat ini kami sedang berproses untuk itu. Tapi kendalanya ada di kayu jati kuno yang susah dicari,” pungkasnya. (kap/ida)