RADARSEMARANG.COM – Momen Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) 2022 kali ini tampak berbeda. Dari puluhan siswa, ada satu deteni atau tahanan Rudenim Semarang yang sekolah.
Masih ingat dengan Fiazal Slamet Rizki alias Ijal, deteni atau tahanan orang asing termuda di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Semarang? Ya, sampai sekarang dia belum bisa kembali ke negara asalnya, Taiwan. Ia masih berada di Rudenim bersama ibunya, Chen Tsin Tsuan atau Chenchen.
Sebagai seorang deteni, tentu hak-haknya turut terenggut termasuk hak pendidikan. Namun, ia beruntung. Ijal bisa sekolah seperti anak-anak seusianya. Rudenim Semarang dengan besar hati memberikan fasilitas sekolah bagi Ijal. Upaya pemenuhan hak ini dilakukan atas bantuan dari stakeholder terkait seperti Dinas Sosial dan PKK Kota Semarang.
Ijal akan mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Krapyak. Senin (11/7), pertama kali ia menginjakkan kaki di sekolah. Ia memakai seragam sekolah merah putih, seperti siswa lainnya.
Ia diantar Kepala Rudenim Semarang, Retno Mumpuni, Ketua PKK Semarang Tia Hendi, Kadiv Keimigrasian Kemenkumham Jateng Winshu Daru Fajar, dan Kadinsos Kota Semarang Heru Soekandar.
Saat ditemui di Rudenim Semarang, Ijal sedang membuka buku-buku dan perlengkapan sekolah pemberian Tia. Ibunya, Chenchen mengaku sangat senang. Ia bercerita pada RADARSEMARANG.COM, sejak malam sudah antusias menyambut hari pertama sekolah.
Peralatan sekolah mulai dari tas, buku, seragam sekolah, sepatu sudah dipersiapkan. Paginya, Ijal bangun jam 05.00, lebih gasik dari biasanya. Ia mandi, sarapan dan mengenakan seragam. Saat dijemput oleh Tia, ia sudah siap rapi menggendong ransel biru. Rambutnya rapi, habis potong rambut kata Chenchen.
“Dia senang bisa berangkat sekolah, tadi waktu pulang cerita ketemu dengan teman-temannya waktu TK,” kata Chenchen.
Ijal pun demikian, ia senang bisa belajar lagi, terlebih sebagian besar temannya sudah ia kenali. Saat di sekolah, kata Ijal, ia bermain. Bahkan, baju barunya hingga kotor. Ia mengungkapkan senang karena sekolah perdananya ini di antar ibu-ibu hebat.
“Terima kasih ibu Ijal bisa sekolah lagi seperti teman-teman lain. Ijal sayang semuanya,” ujar Ijal tulus.
Kepala Rudenim Semarang, Retno Mumpuni mengatakan, pemberian hak pendidikan ini secara aturan atau akses tidak ada sebab sebagai deteni hanya fokus pada bagaimana dia pulang ke negaranya.
Namun karena deteni cilik ini kondisinya berbeda, hak pendidikan ini bisa diberikan atas dasar Hak Asasi Manusia. “Mendaftarkannya tidak mudah karena Ijal tidak punya KK, dan sebagainya. Namun Alhamdulillah dibantu Bu Tia dan Dinsos,” kata Retno.
Sebelumnya Ijal sudah pernah sekolah di Taman Kanak-kanak. Selama ini, proses belajar Ijal biasanya diberi pembelajaran oleh pegawai. Kepedulian pemberian hak pendidikan ini karena di usia Ijal yang ke enam tahun ini adalah masa pertumbuhan. Sehingga perlu diberikan fasilitas agar tidak memengaruhi psikologisnya.
“Di sini dia kan bergaulnya sama orang dewasa. Sehingga memang perlu kita bantu mendapatkan hak bermain dengan sebaya, hingga hak pendidikan,” katanya.
Nantinya, ketika sekolah Ijal tetap dalam pengawasan Rudenim Semarang. Mulai dari berangkat, berada di sekolah hingga pulang.
Di sisi lain, hingga saat ini, Ijal belum memiliki status kewarganegaraan. Ia belum diakui pemerintah Taiwan sebagai warga negara. Kendati begitu, Rudenim Semarang saat ini sedang mengupayakan Ijal untuk bisa menjadi WNI.
Pada November lalu, ayah Ijal sudah mendatangi Rudenim Semarang untuk mengurus proses kewarganegaraan anaknya. Namun, ketika diajukan ke Dirjen Administrasi Hukum dan Umum (AHU), pengakuan anak ini harus melalui legalitas Pengadilan.
Hingga saat ini, proses tersebut belum rampung karena ayah Ijal sendiri belum memberikan informasi lebih lanjut.“Proses ini sedang berjalan, sedang menunggu pengajuan resmi dari ayahnya yang berada di Tegal,” ujar Retno.
Untuk diketahui, Ijal bersama ibunya Chen Shin Tsuan harus ditahan di Rudenim akibat masa berlaku visa habis. Praktis, keduanya melakukan pelanggaran keimigrasian berupa overstay. Mereka tinggal di sini sudah 6 tahun. Saat itu, Ijal masih berusia 6 bulan. Tentunya, keinginan untuk pulang ada. Sayangnya, Chen Shin Tsuan dan Ijal, tak punya ongkos untuk kembali ke negara asalnya di Taiwan. (ifa/bas)