RADARSEMARANG.COM – Hidup segan mati tak mau. Ungkapan yang pas untuk menggambarkan kondisi Pasar Kampung Yusup, Karangturi, Semarang Timur saat ini. Pasar tradisional yang dulunya ramai ini, sekarang sepi. Dari 100 pedagang, kini tersisa 16 orang yang masih bertahan. Itu pun tak semuanya aktif berdagang setiap hari.
Pagi itu, Pasar Kampung Yusup tampak sepi. Hanya empat pedagang yang berjualan. Ada yang menata sayuran. Ada pula yang asyik jagongan dengan pedagang lain. Kondisi bangunan pasar di gang sempit ini memprihatinkan. Atap bocor dan ada yang sudah roboh. Besi penyangga berkarat. Sampah berserakan. Rumput tumbuh menjalar. Keramik rusak dan kayunya pun sudah lapuk. Pasar ini sepertinya sudah tak layak huni untuk berjualan. Usianya memang sudah setengah abad lebih. Tahun 1960-an pasar ini sudah ramai.
Empat pedagang yang membuka lapak pagi itu berjualan sayur, buah, dan ikan laut. Pembeli yang datang berasal dari Kampung Yusup. Itupun tak banyak. Hanya satu-dua orang saja. Kegiatan para pedagang lebih banyak diisi dengan duduk sembari bercengkerama dengan pedagang lain.
Lestari, salah satu pedagang mengaku semakin hari kondisi pasar semakin sepi. Wanita yang sudah 40 tahun berjualan ini terkadang tak bisa berbelanja karena pemasukan yang minim. “Sekarang bisa balik modal sudah Alhamdulillah, Mbak. Pemasukan tidak sebanding dengan pengeluaran,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Uang untuk biaya naik angkot pun tak sebanding dengan penghasilan yang didapatkan. Setiap hari ia berangkat naik angkot dari rumahnya di Kaligawe. “Ongkos pulang pergi kalau naik Daihatsu Rp 15 ribu. Belum lagi kalau harus ke Pasar Peterongan buat kulakan dagangan, bisa habis Rp 25 ribu sehari,” akunya.
Ibu lima anak ini berjualan ikan laut. Ia mengaku dulunya bisa menjual 12 ember besar ikan laut dalam sehari. Saat ini, satu ember ikan bisa ia jual selama dua hari. Terkadang bisa berhari-hari karena tak ada orang yang beli. Begitupun dengan penghasilan yang didapatkan. Di masa kejayaannya dulu, ia bisa membawa pulang uang Rp 4 juta. Kini, untuk mendapatkan uang Rp 100 ribu pun susah.
“Saya juga pernah dalam sehari nggak laku sekali. Sedih iya, tapi tidak boleh berlarut. Orang jualan itu kalau sepi harus disyukuri, kalau ramai Alhamdulillah. Jadi, jangan cuma senangnya aja yang dipikirkan. Diterima saja karena sudah tua mungkin rezekinya juga berkurang nggak banyak terus,” katanya.
Akhirnya, ia pun mengakali dengan berjualan sayur sebagai tambahan. Satu dua ikat sayurannya pun pasti laku. Sampai sekarang, wanita 61 tahun ini tetap bertahan untuk berjualan di Pasar Kampung Yusup. Menurutnya, dari pasar ini ia bisa membesarkan anak-anaknya. Banyak suka duka yang dialami. Mulai dari ramainya pasar hingga menyurutnya pedagang.
“Saat masih ada Pabrik Jamu Jago di sebelah sini, pasarnya ramai. Yang jualan sampai dalam kampung dan trotoar jalan. Ada 100 pedagang lebih. Dulu yang jualan ikan juga banyak. Ada 20 pedagang ikan segar, 12 pedagang ayam potong, 6 pedagang daging sapi, lainnya berjualan sayur dan buah-buahan. Pasarnya juga sampai sore, karena menunggu karyawan pulang kerja itu pasti ramai lagi. Tapi sejak pabriknya pindah, pasarnya sepi. Mulai tahun 2000, pedagangnya berkurang, ada yang meninggal, ada yang pindah, ada juga yang sudah tidak mau berjualan. Hanya kami yang tersisa mbak, kalau jualan semua bisa 16 pedagang. Normalnya hanya 10 orang saja yang aktif berjualan setiap hari,” ceritanya.
Setiap hari, ia berangkat dari rumah pukul 06.00, dan pulang pukul 11.00. Saat tak ada yang beli dagangannya. Lestari pun sering pulang lebih awal. Ia menambahkan, di Pasar Kampung Yusup ini juga pernah terjadi pencurian.
“Waktu mau lebaran dua kali terjadi pencurian. Sasarannya mereka yang jualan baju lebaran. Sejak itu, pedagang tersebut sudah nggak mau jualan lagi. Mungkin karena trauma,” akunya
Baginya, Kampung Pasar Yusup adalah rumah keduanya. Ia tak ingin pindah ke pasar lain. Selain tidak ada tempat, pasar inilah yang menghidupi keluarganya.
Hal senada juga dikatakan Ngatini, pedagang buah ini sudah 25 tahun berjualan di Pasar Kampung Yusup. “Sejak Pabrik Jamu Jago pindah memang sepi. Tapi ya tetap disyukuri. Ditambah sabarnya, karena hidup nggak selalu senang terus,” katanya.
Menurutnya, pembeli jarang berbelanja di pasar ini karena sayurannya tidak komplet. Pilihannya hanya sedikit. Karena itu, warga memilih ke pasar lain. “Orang kalau belanja itu kan nyarinya yang satu tujuan dapat semua. Jadi, pada lari ke Pasar Peterongan. Kalau di sini cabai ada, tapi daging nggak, ya begitu. Kalau di pasar lain, pilihannya lebih banyak,” ujar pedagang yang kerap disapa Tini ini.
Sumiyati, pedagang sayuran mengaku pasrah dengan keadaan yang ada. Meski sepi pembeli, wanita 54 tahun ini akan tetap setia berjualan di Pasar Kampung Yusup.
“Walaupun dapat tawaran tempat untuk pindah, saya akan tetap jualan di sini. Niatnya biar pasarnya tetap hidup mbak, teringat dulu pas ramai gimana, giliran sepi masak iya mau ditinggal,” tambahnya.
Ia mengkui, hingga kini Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang belum pernah memperhatikan kondisi Pasar Kampung Yusup. Pernah direncanakan adanya renovasi dari pihak kelurahan, namun belum terlaksana.
“Beberapa kali memang ada rencana mau direnovasi biar rapi. Tapi, sampai sekarang lurahnya ganti pun belum terlaksana. Saya berharap pemerintah tahu kondisi kami saat ini, kemudian dilakukan renovasi agar tempatnya nyaman dipakai. Harapannya, kalau bangunannya sudah bagus lalu pedagangnya kompak berjualan, pasarnya akan ramai lagi kayak dulu,” harapnya. (cr4/aro)