RADARSEMARANG.COM, SEMARANG – Ratusan mahasiswa UIN Walisongo Semarang menggelar aksi demo mengecam kelangkaan minyak goreng (migor), kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN), serta rencana kenaikan harga pertalite dan gas elpiji 3 kg di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Jumat (8/4) sore. Mereka menuntut pemerintah menstabilkan perekonomian terlebih dahulu.
Aksi mahasiswa ini berakhir ricuh. Kericuhan terjadi menjelang adzan maghrib. Diduga kericuhan terjadi karena mahasiswa ingin memasuki halaman gubernuran untuk berbuka puasa. Informasi lain, kericuhan dipicu mahasiswa yang emosi karena ban bekas yang dibakar dipadamkan oleh polisi.
Menurtut pantauan koran ini, kericuhan mulai terjadi setelah massa membakar ban bekas serta spanduk. Api yang awalnya kecil tiba-tiba membesar dan hampir menjilat kabel listrik yang ada di depan gubernuran. Dengan sigap, polisi langsung memadamkan api. Hal itu menyulut emosi massa hingga akhirnya terjadi aksi saling dorong.
Wakapolrestabes Semarang AKBP IGA Dwi Perbawa turun langsung mengendalikan situasi. Mahasiswa mulai anarkis melempar botol minum dan kayu ke arah petugas. Namun pewira menengah dengan dua melati di pundak tersebut berhasil melakukan audiensi. Hingga akhirnya mahasiswa berjanji tak anarkis dan menggelar salawatan lalu membubarkan diri.

“Tadi sebenarnya massa sudah melebihi waktu demo. Sudah kita beri tambahan waktu 10 menit. Mereka malah bakar ban dan spanduk,” kata AKBP IGA.
Tuntutan mahasiswa sendiri adalah menolak penundaan pemilu dan wacana tiga periode pemerintahan Jokowi-Maruf Amin, mempertanyakan kelangkaan minyak goreng, menolak kenaikan tarif PPN, serta menolak wacana kenaikan BBM subsidi pertalite dan gas elpiji 3 kg.
“Sampai saat ini masyarakat masih kesulitan mendapat dan membeli minyak goreng,” ujar Koordinator Aksi Muhammad Mun’im kepada RADARSEMARANG.COM.
Mun’im mengatakan, berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah telah gagal menstabilkan ketersediaan dan harga minyak goreng. Bahkan pemerintah mengakui hal ini disebabkan permainan mafia minyak goreng dan hanya dapat meminta maaf.
“Hal ini membuktikan ketidakmampuan pemerintah menangani mafia yang menguasai negara,” imbuh Mun’im.
Ia juga menilai, kenaikan PPN 11 persen baru-baru ini sangat tidak tepat dengan kondisi perekonomian masyarakat. Terutama masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Meskipun awalnya dianggap tidak terlalu berdampak pada inflasi, akan tetapi kenaikan harga bahan pokok menjelang Ramadan dan Lebaran sangat memberatkan masyarakat kelas bawah. Mestinya pemerintah mampu membaca situasi ini.
Tak hanya itu, massa juga mengecam wacana Menkomarives Luhut Binsar Panjaitan soal kenaikan harga BBM pertalite dan gas elpiji berukuran 3 kg. Apalagi pengguna BBM dan elpiji jenis tersebut masyarakat kelas bawah. Tentunya hal ini akan memberatkan mereka.
“Lagi-lagi pemerintah gagal dan gagap mengabil kebijakan yang berpihak pada rakyat,” tutur Mun’im.
Khoirul Fajri Assyihan, mahasiswa lainnya menambahkan, kenaikan harga minyak goreng seharusnya tidak perlu terjadi, apalagi bangsa ini adalah penghasil minyak sawit terbesar. Ia menuntut agar pemerintah dan penegak hukum bisa mengusut dan menindak kartel-kartel dan mafia minyak goreng. (taf/den/aro)