RADARSEMARANG.COM, Semarang – Kota Semarang menduduki peringkat 15 dari 35 kabupaten/kota dengan perkawinan anak tertinggi di Jateng. Terbukti, sepanjang tahun 2020 di Pengadilan Agama (PA) Kota Semarang, ada 231 perkara permohonan dispensasi kawin yang dikabulkan. Sementara, hingga pertengahan 2021 ini, sudah ada 104 permohonan dispensasi kawin.
Panitera Muda Hukum PA Semarang, Saefudin merinci, pada Januari terdapat 31 permohonan, Februari 14 permohonan, Maret 27 permohonan, April 23 permohonan, dan Mei 9 permohonan. “Dari jumlah tersebut, yang diputus PA Semarang sebanyak 92 permohonan,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM di kantornya, Selasa (15/6/2021).
Ia menambahkan, mayoritas yang mengajukan adalah pihak calon pengantin (catin) perempuan. Rata-rata mereka masih berusia 17-18 tahun atau masih sekolah menengah atas (SMA). Sementara pihak catin laki-laki jarang.
Saefudin mengatakan, hal ini erat kaitannya dengan Peraturan Mahkamah Agung (MA) yang menaikkan batas usia menikah menjadi 19 tahun (laki-laki dan perempuan). “Saat batas usia 16 tahun saja sudah banyak, apalagi dinaikkan jadi 19 tahun,” katanya.
Meski begitu, tidak semua permohonan yang masuk diterima. Selain memenuhi syarat administrasi, dikabulkannya permohonan dispensasi kawin harus dalam keadaan mendesak. “Seperti hamil, itu pasti akan dikabulkan. Kemudian zina,” jelasnya.
Menanggapi hal itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko menyampaikan, perkawinan anak termasuk kekerasan terhadap anak. Bahkan, sangat berpotensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Pihaknya mencatat, tahun 2020 menerima pengaduan mengenai kasus perkawinan anak sebanyak 55 kasus. Sementara, hingga Selasa (15/6/2021) pengaduan kekerasan seksual sebanyak 20 kasus. “Dari data tersebut, baru satu kasus yang disarankan polisi untuk dinikahkan saja,” jelasnya.
Ayu mengungkapkan, mayoritas aduan kasus karena perempuan mengalami kekerasan seksual dari pelaku, sehingga penyelesaiannya disarankan dengan cara menikah. “Kami sangat menolak penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan menikahkan pelaku dengan korban,” ujarnya.
Menurutnya, jika hal itu dilakukan sama artinya mendorong korban masuk lebih dalam ke lingkaran kekerasan pelaku. Pernikahan dengan metode seperti itu tidak melindungi hak korban, namun lebih melindungi pelaku. Bahkan, pelaku rentan akan melakukan pengulangan kekerasan tidak hanya dengan korban, namun dapat melakukan dengan anak-anak yang lain.
“Penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, dengan tetap melakukan dan atau memberikan saran menikahkan pelaku dengan korban termasuk melanggengkan kekerasan seksual terhadap anak,” paparnya.
Dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, LBH APIK Semarang akan mendorong negara agar lebih responsif. Terutama dalam memberikan hak-hak korban, di antaranya hak restitusi, hak pendidikan, hak rehabilitasi, dan hak anak korban. (ifa/ida)