RADARSEMARANG.COM – Warga di sejumlah wilayah di Kota Semarang kini telah mengganti penggunaan gas elpiji dengan gas bumi. Setidaknya sudah hampir 8.798 rumah di Kota Lunpia yang menikmati jaringan gas bumi dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) ini. Apa keuntungannya?
Sudah hampir lima tahun warga Kelurahan Mlati Baru, Semarang Timur menggunakan gas bumi dari PGN. Mereka menggunakan gas bumi untuk kebutuhan rumah tangga. Ada juga yang dipakai untuk usaha kuliner. Seperti Rudi, pemilik usaha Soto Pak Banjar di kawasan tersebut. Menurutnya, banyak kelebihan yang diberikan PGN. Setelah gas disalurkan melalui pipa ke kompor rumah warga, mereka tak perlu takut kehabisan gas sewaktu-waktu. Penggunaannya pun lebih praktis.
“Nggak perlu bongkar pasang regulator seperti saat menggunakan gas elpiji,” ungkapnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Untuk usaha warung soto miliknya, Rudi menggunakan tujuh kompor. Semuanya mengandalkan gas yang dialirkan dari pipa gas bumi. Ia mengaku gas bumi dari PGN lebih simpel. Ia tak perlu kerepotan saat gas habis. Risiko kebocoran pun kecil.
“Kalau pun bocor, PGN nggak akan meledak. Karena tekanannya kecil. Sedangkang elpiji kalau bocor kan nakutin,” imbuhnya.
Meski begitu pada awal instalasi dibuat, diakui, bau gas bumi sangat menyengat. Seperti bau feses atau kotoran manusia. Bau gas tersebut sengaja dibuat pihak PGN untuk mengidentifikasi kebocoran. Karena pada dasarnya gas bumi memiliki bau netral.
Biaya yang dihabiskan sekitar Rp 50 ribu untuk instalasi dua tungku kompor. Perbedaan gas bumi untuk kebutuhan rumah tangga dan usaha terletak pada besaran pemakaian gas setiap bulan. Selain itu, untuk usaha dapat menambah instalasi sesuai jumlah kompor yang dibutuhkan. Tentu saja, tagihan bulanan juga berbeda. “Seingat saya tarif rumah tangga itu Rp 4 ribu per m3. Kalau untuk usaha sekitar Rp 5 ribuan per m3,” jelasnya.
Nurhayati, pelaku UMKM yang memproduksi bandeng presto saat ditemui koran ini tengah menyiapkan bumbu presto. Sama seperti Rudi, ia merasa diuntungkan dengan penggunaan gas bumi. “Bagi pelaku usaha seperti saya, jadi enak dan praktis. Kalau ada trouble, saya langsung telepon. Itu pun jarang terjadi,” terangnya.
Dari segi biaya, Nur tak mengatakan gas bumi PGN lebih murah dari elpiji. Awalnya, memang harga gas bumi relatif lebih murah. Tapi perlahan harga berubah dan cenderung naik. Terlebih akhir-akhir ini, kalkulasi biaya bulanan yang dilihat dari penggunaan per tiga bulan menurutnya kurang akurat. Para tetangga juga mengeluhkan hal yang sama.
“Kadang penggunaan biasa, tapi tagihan sampai Rp 600 ribu, tetangga saya malah pernah sampai sejuta lebih. Tapi setelah kami komplain, memang ada yang salah. Lalu kelebihan biaya, dibuat bayar tagihan bulan selanjutnya,” tandasnya.
Nur agak menyesali kelalaian petugas. Ia merasa, awal penggunaan hanya dibebani tagihan Rp150 ribu per bulan. Sekarang bahkan sampai Rp 600 ribu. Sebab, untuk mengolah bandeng presto minimal 10 kg paling tidak perlu dimasak selama tiga jam.
Lurah Mlatibaru Widji Wastuti mengatakan, ada sekitar 700 rumah warga yang telah dipasang jaringan gas bumi dari PGN. Diakui, pada 2016, awalnya kebanyakan warga menolak saat akan dipasang pipa gas bumi di rumahnya. Namun setelah mengetahui banyak kelebihan dari penggunaan gas bumi, kini warga berbalik 180 derajat. “Penggunaan gas bumi menguntungkan warga, ya mereka kini malah seneng,” katanya.
Tak hanya di Mlatibaru, sejumlah warga di Perumahan Wahyu Utomo Ngaliyan juga sudah menikmati gas bumi sejak dua tahun terakhir.
Sugianto, warga setempat mengaku lebih enak menggunakan gas bumi ketimbang elpiji. “Kalau menurut saya pribadi ya enak. Ya memang harus membayar mahal di awal, tapi setelah itu lebih murah,”katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis (10/6/2021).
Sugianto menjelaskan, dirinya membayar Rp 3 juta saat memasang jaringan gas bumi. Biaya pasang itu diangsur selama 3 bulan.
Ia mengatakan, biaya tersebut sepadan dengan kepraktisan yang didapat saat menggunakan gas bumi. Dalam sebulan, ia membayar rekening gas bumi sekitar Rp 80 ribu. Jumlah itu, menurutnya, lebih murah dibandingkan dengan penggunaan elpiji. “Sudah irit, tidak perlu angkat-angkat tabung elpiji, pokoknya praktis,” ujarnya.
Ditanya masalah yang pernah dialami dalam penggunaan gas bumi, Sugianto mengaku sama sekali belum merasakan masalah pada produk PGN ini. Ia menjelaskan, aliran gas bumi selalu lancar sejak awal dipasang. Bahkan di hari lebaran yang identik dengan masak-masak, aliran gas bumi tetap lancar meski pada hari itu diperkirakan penggunaan warga meningkat.
Diakui, kekecewaan justru terjadi pada warga yang hendak memasang jaringan baru. Tak sedikit warga yang mengeluhkan tidak bisa memasang karena jaringan habis. “Untuk pemasangan instalasi jaringan juga perlu waktu dua hari. Namanya gas kan tidak bisa seperti PDAM atau PLN,” ungkapnya.
Agus, Ketua RW 06 Perumahan Wahyu Utomo mengakui, warganya puas dengan pemasangan jaringan gas bumi tersebut. Ia belum pernah mendapatkan laporan keluhan dari warganya mengenai gas bumi. “Di Perumahan Wahyu Utomo ini gas bumi masih untuk rumah tangga biasa saja, belum buat bisnis,”katanya.
Dihubungi terpisah, Manager Sales Area Head PGN Semarang dan POC Mochamad Arif mengatakan, pemanfaatan jaringan gas bumi rumah tangga semakin diperluas oleh Kementerian ESDM bersama dengan PGN. Di Kota Semarang yang semula hanya 1.692 rumah tangga pengguna gas bumi, sejak 2020 sudah ditambah 7.106 rumah tangga. Kini total ada 8.798 rumah tangga.
Mochamad Arif menjelaskan, tambahan 7.106 rumah tangga yang jaringan infrastrukturnya dibangun sejak 2020 ini ada di wilayah Kecamatan Semarang Barat. Meliputi, Kelurahan Kalibanteng Kidul, Kelurahan Karangayu, Kelurahan Krobokan, Kelurahan Cabean, Kelurahan Gisikdrono, Kelurahan Bojong Salaman, dan Kelurahan Salaman Mloyo.
“Ini menggunakan gas bumi yang bersumber dari Central Processing Plant (CPP) Gundih, Kabupaten Blora, yang dialirkan langsung ke PT Sumber Petrindo Perkasa (SPP) Tambaklorok, baru disalurkan ke pipa warga,” jelasnya.
Sedangkan yang 1.600 rumah tangga yang sudah dibangun beberapa tahun lalu meliputi wilayah Semarang Timur, yakni Kelurahan Mlatibaru, Kelurahan Bugangan, Kelurahan Rejosari, dan Kelurahan Karangtempel. “Paling pertama dibangun di Kota Semarang di Perumahan Wahyu Utomo Ngaliyan Semarang yang saat ini hanya 92 rumah tangga pengguna, karena lainnya kena pembangunan jalan tol,” jelasnya.
Menurutnya, saat ini sudah ada 8.792 rumah tangga di Kota Semarang yang sudah teraliri gas bumi. Pihaknya mengingatkan warga untuk tidak takut dengan gas bumi rumah tangga. Sebab, tekanan pada gas bumi sangat kecil hanya 80 mili bar sampai 100 mili bar ketika berada di pipa luar rumah. Begitu masuk ke pipa di dalam rumah warga, tekanannya diturunkan lagi sesuai kebutuhan, hanya 30 mili bar. “Karena gas ini sifatnya ringan, kemudian ventilasi rumah warga bagus, kalau ada kebocoran, akan hilang terbawa angin. Tapi, kalau ventilasi rumah tidak ada menyebabkan ada akumulasi gas akibat kebocoran, bisa menimbulkan api,” jelasnya. (cr3/taf/ida/aro)