RADARSEMARANG.COM, Semarang – Tradisi gebyuran di kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan rutin digelar menjelang Ramadan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Gebyuran Bustaman tahun ini berlangsung terbatas di depan Musala Al Barokah Sabtu (10/4/2021). Pandemi Covid-19 memaksa warga untuk menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.
Sebelum pandemi, gebyuran di kampung yang terkenal dengan kuliner sate serta gule kambing ini menjadi ajang perang air yang meriah. Bersenjatakan air warna warni dalam ember, gayung atau kantong plastik, warga saling lempar dan gebyur dengan gembira. Tak ada permusuhan, tak ada dendam.
Tahun ini, gebyuran diwakili empat anak berbusana tradisional. Mereka diguyur air dari gayung oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Indriyasari serta Muspika setempat. Sejumlah remaja akhirnya ikut menguyur diri sendiri dengan air dalam gayung. Suasana menjadi meriah. Warga tetap tersenyum meskipun bajunya basah.
Tokoh masyarakat Kampung Bustaman Hari Bustaman mengatakan pelaksanaan tradisi tahun ini secara dan hanya oleh perwakilan masyarakat. Tetapi tidak mengurangi makna dari Gebyuran Bustaman itu sendiri. Tradisi ini merupakan salah satu upaya menghormati leluhur Mbah Kiai Bustaman yang membuat sumur pada 1743. Sumur berusia 278 tahun tersebut masih digunakan warga hingga saat ini. “Kalau sebelumnya ada pandemi gebyuran dilakukan dengan saling melempar air yang masukkan ke dalam plastik dengan berbagai aneka warna. Tetapi pada tahun ini hanya perwakilan beberapa orang untuk diguyur air dengan menggunakan gayung,” katanya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Indriyasari mengatakan Gebyuran Bustaman sempat terhenti pada 2020 karena pandemi. Kini warga kembali menjalankan dengan prinsip kehati-hatian. “Memang sedikit berbeda dalam tradisi Gebyuran Bustaman yang sekarang ini dimodifikasi serta ada penyederhanaan dan penyesuaian karena ada beberapa hal yang harus dilakukan terutama menjaga prokes,” katanya. (hid/ton)