RADARSEMARANG.COM, Semarang – Warga Perumahan Bukit Manyaran Permai (BMP) Kelurahan Sadeng, Gunungpati, resah. Sebab, hingga kemarin, bencana longsor di wilayahnya belum mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota Semarang. Lokasi longsor masih dibiarkan menganga. Warga pun waswas jika terjadi longsor susulan ketika hujan deras mengguyur. Warga yang masih bertahan berharap ada pembangunan fisik berupa bronjong penahan.
Seksi Pembangunan RW V Kelurahan Sadeng Susilo mengatakan, bencana longsor terparah terjadi di wilayah RT 01 , 05, dan 07 RW V. Menurut dia, pergeseran tanah yang terjadi setahun terakhir semakin parah hingga menyebabkan longsor. Pergerakan tanah, lanjut dia, terjadi karena arus air dalam tanah yang berasal dari saluran dan air pembuangan dari rumah warga.
“Resapan air dari rumah warga ini tidak bisa diantisipasi, akhirnya air lari ke tempat yang lebih rendah, dan menyebabkan retakan tanah hingga longsor seperti ini,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM, Senin (1/3/2021).
Dikatakan, komunikasi dengan pihak pemerintah kelurahan, kecamatan maupun Pemkot Semarang sudah dilakukan. Sayangnya, hingga kini belum ada bantuan fisik yang nyata dari pemerintah seperti yang diharapkan warga.”Misalnya, bronjong agar tidak lagi ada pergerakan tanah, ini sudah ada tapi belum dilanjutkan,” katanya.
Sebelumnya, lanjut dia, sempat ada wacana pembangunan bronjong sepajang 250 meter untuk mengantisipasi pergerakan tanah pada 2020 lalu melalui anggaran daftar isian pelaksanaan anggaran (Dipa). Pada Januari lalu, pihaknya sudah menanyakan realisasinya. Saat itu, dipastikan anggaran sudah masuk, namun belum pasti kapan direaliasikan.
“Tapi, belum terlaksana, karena anggarannya dialihkan buat penanganan Covid-19. Kami minta agar bronjong ini direalisasikan, karena longsoran tanah sudah mengancam jiwa. Kita inginnya ada prioritas penangan,” desaknya.
Dari data yang dimiliki, setidaknya ada 16 rumah yang sudah tidak bisa ditempati. Delapan rumah berada di wilayah RT 01, enam rumah ada di RT 07, dan dua rumah di RT 05. Selain itu, puluhan rumah lainnya juga terdampak, yakni mengalami retak-retak pada tembok dan lantai. Namun rumah-rumah tersebut masih dihuni pemiliknya.
“Dari Kelurahan Sadeng sudah memfasilitasi kalau ada warga yang mau tinggal di rusunawa bisa didata, namun belum ada warga yang mau. Ada yang memilih tetap tinggal di sini (Perumahan Bukit Manyaran Permai). Ada pula yang ngungsi ke rumah sanak saudara,” tuturnya.
Rosanah, salah satu warga memilih tetap tinggal di rumah yang jaraknya hanya sekitar dua meter dari longsoran tanah. Padahal tiga rumah disamping kiri, sebagian sudah ambruk pada bagian teras dan sudah kosong
“Ya waswas pasti ada, tapi gimana lagi, saya tidak punya tempat tinggal lain. Kalau hujan, buat mengantisipasi saya nggak tidur,”katanya sambil menujukkan tembok rumahnya yang retak-retak.
Jika dilihat dari depan, rumah Rosanah sudah tampak miring. Sementara di bagian samping kiri rumahnya, sekitar dua langkah, longsoran tebing sudah menganga lebar, sewaktu-waktu bisa saja runtuh jika hujan deras.
“Saya sudah tinggal di sini sejak tahun 1984. Kalau pertama longsor tahun 2017, tapi belum parah, karena hanya jalan yang hilang. Nah kemarin itu yang parah, rumah tetangga saya tiba-tiba ambruk,” jelasnya sambil menunjuk rumah yang jatuh ke dalam tebing.
Memilih bertahan juga dilakukan Wiwid, warga RT 1 RW V. Meski sebagian terasnya tergerus, ia memberanikan diri untuk tinggal di rumah yang didiami sejak beberapa tahun terakhir. Dua rumah di sampingnya, sudah tidak dihuni karena teras dan bagian rumah lain sudah hancur terbawa longsoran tanah.
“Dua bulan ini pergerakan tanahnya paling parah. Ada penurunan tanah pelan-pelan, kemudian rumah-rumah pada ambruk. Rumah milik Pak Ketut itu yang pertama. Bergeser dari tempat semula,” paparnya. (den/aro)