RADARSEMARANG.COM, Semarang – RADARSEMARANG.COM kembali mengadakan bengkel redaksi, Kamis (18/2/2021). Kegiatan yang digelar secara lesehan di aula lantai I tersebut untuk meng-upgrade kemampuan jurnalistik wartawan agar bisa berkarya lebih baik lagi.
Direktur RADARSEMARANG.COM Baehaqi secara langsung memberikan arahan. Namun tidak seperti biasanya, hari itu terasa lebih istimewa. Ia mengajak serta M Ulin Nuha dan Noor Syafaatul Udhma. Keduanya, redaktur pelaksana dan redaktur Jawa Pos Radar Kudus.
Diajaknya Ulin dan Mala -sapaan akrabnya- bukan tanpa alasan. Mereka diminta untuk berbagi pengalaman dengan wartawan RADARSEMARANG.COM selama meliput tulisan berseri “Bermalam Nuzulul Quran di Puncak Songolikur” dan “Soesilo Toer, Doktor Pemulung”. Dua tulisan ini sempat mendapat perhatian besar setelah diterbitkan di Jawa Pos Radar Kudus.
Mala yang yang menulis “Soesilo Toer, Doktor Pemulung” mendapat giliran pertama berbagi cerita. Di hadapan lebih dari 30 wartawan dan redaktur Radar Semarang, ia mengaku masih ingat betul proses peliputan dengan Soesilo Toer. Yang paling berkesan kali kedua berkunjung ke rumah Soesilo, ia membawa sate kerbau. Tujuannya tidak lain agar lebih dekat.”Sebelumnya sudah survei dan tahu mbah Soes sukanya sate kerbau. Saya bawakan ketika berkunjung lagi, dan beliau senang,” ujarnya.
Setelah kedekatan terjalin, Mala meminta izin untuk ikut memulung. Agar lebih mengerti kehidupan yang dialami Soesilo. Bagi yang belum tahu, adik Pramoedya Ananta Toer tersebut memang suka memulung. Meskipun ia sorang doktor lulusan Rusia.
Tidak mudah memang memulung. Mengosek sampah. Mending kalau kering. Kalau sampah basah dan berbau, rasanya ingin muntah. Tapi ditahan agar tidak menyinggung Soesilo.”Kalau ingin tahu kehidupan mbah Soes ya harus ikut kegiatannya. Saya ikut memulung dari magrib sampai jam 11-an malam,” aku wartawati yang pernah semalam menginap di sel penjara saat liputan Ramadan di lapas ini.
Tidak hanya itu, ia juga mengobrol banyak dengan Soesilo di rumahnya. Dan dari cerita tersebut menjadi bahan untuknya untuk menggambarkan Soesilo.
Ketika ditanya wartawan Jawa Pos Radar Semarang, Lutfi Hanafi, kenapa ia mau memulung dan mengikuti Mbah Soes, jawabannya simpel. Karena ia senang. Ia menyukai peliputan yang berbeda dari kebanyakan wartawan lainnya. Dan ini menjadi faktor penting. Karena tulisan menjadi hidup dan menarik dibaca jika sang penulis senang dengan apa yang dituangkannya.”Bekerja harus senang. Kalau sudah senang melakukannya juga bahagia. Jadi, nanti juga akan terbawa dalam tulisan,” ujarnya.
Setelah itu, giliran Ulin. Ia menceritakan pengalamannya mendaki ke puncak Songolikur bersama seorang wartawan, dan Direktur Baehaqi. Kala itu, dilakukan saat puasa. “Karena tujuannya memang untuk memperingati Nuzulul Quran,” katanya.
Proses mendaki pun ia akui berat. Jalurnya terjal. Kanan kiri ada jurang. Belum lagi saat puasa. Tambah berat saja. Namun ia tidak menyerah. Nyatanya ia tetap sampai puncak. Walau prosesnya harus berhenti hingga 10 kali. “Ada adegan pijat-memijat dengan rekan saya. Karena saking pegal dan capeknya mendaki,” ujarnya.
Walau capek, ia tetap melakukan tugasnya. Sebagai wartawan, ia mengamati setiap hal yang terjadi, dan apa yang ada di sekelilingnya. Hasil pengamatannya sedikit demi sedikit ditulis. Sampai puncak, ia rangkai menjadi berita. Saat itu, langsung dikirim ke redaksi. Pengirimannya pun susah. Perlu pakai sinyal satelit. Begitu saja masih putus-putus pula. “Setelah itu langsung diterbitkan keesokan harinya. Jadi, saya tidak tahu hasil terbitnya karena masih turun dari puncak dengan Pak Direktur,” katanya.
Dari pengalaman tersebut, Ulin menekankan seberat dan secapek apapun, seorang wartawan harus terjun langsung, dan tetap peka ketika peliputan. Terutama mengamati keadaan sekitar. Ini penting. Karena ini yang akan dituangkan dalam tulisan. Dan membuat pembaca merasakan suasana yang ditulis.”Tidak perlu ditulis langsung semua. Sedikit-sedikit bisa dicicil. Baru nanti digabungkan,” lanjutnya.
Wartawan dan Redaktur Jawa Pos Radar Semarang antusias mendengarkan. Ada yang bahkan mencatat agar tidak lupa ilmunya. Yang lain juga mengajukan pertanyaan tentang pengalaman keduanya.
Dari cerita keduanya, Baehaqi ingin wartawan mengerti dan meng-upgrade diri. Agar ke depan bisa melakukan tugas jurnalisme lebih baik. Sehingga menghasilkan tulisan yang tidak hanya bagus, tapi juga mendetail dan mampu mengajak pembaca untuk manikmati dan merasakan pengalaman penulis. “Tulisan itu cerita. Didasarkan pada fakta. Nah itu dinamakan berita,” tuturnya. (akm/aro)