RADARSEMARANG.COM, Semarang – Empat mahasiswa dari tiga universitas di Semarang ditahan dengan status tersangka oleh Polrestabes Semarang. Mereka diduga melakukan tindakan anarkistis saat aksi demo penolakan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Jateng, Rabu (7/10/2020) lalu. Untuk membebaskan keempat mahasiswa itu, Kamis (15/10/2020), perwakilan mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mendatangi kantor DPRD Kota Semarang. Mereka wadul dan meminta wakil rakyat bisa menjembatani kasus tersebut.
“Harapan kami DPRD Kota Semarang bisa mewadahi dan menjembatani audiensi antara mahasiswa, DPRD, dan Polrestabes untuk mencari jalan keluar. Kami juga meminta kebijaksanaan dari kepolisian,” kata Ketua GMNI Kota Semarang Harungguan Desmon Tampubolon.
Ia menjelaskan, keempat mahasiswa yang ditahan itu terdiri atas seorang mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro (Undip) angkatan 2020, seorang mahasiswa Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang angkatan 2020, serta dua mahasiswa Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang angkatan 2019.
Harungguan mengatakan, mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan melakukan tindakan anarkistis.“Ada bukti rekaman beberapa video aksi anarkis berupa pelemparan pot bunga kepada kepolisian, status sudah dilakukan BAP (Berita Acara Pemeriksaan), dan ditetapkan tersangka atas tuduhan melakukan pengerusakan aset negara atau fasilitas publik,” bebernya.
Komunikasi dengan pihak kepolisian, lanjut dia, belum dilakukan. Harapannya, dengan wadul ke dewan, khususnya bertemu Komisi A DPRD Kota Semarang, akan ada jalan keluar bagi keempat mahasiswa yang ditahan tersebut.
“Kita menuntut ada kebijaksanaan, karena pihak polisi juga melakukan tindakan di luar protap. Pendampingan hukum sudah ada. Ada 50 advokat lulusan Unissula. Untuk permohonan penangguhan penahanan belum kita diajukan,” tuturnya.
Ketua DPRD Kota Semarang Kadar Lusman menjelaskan, perwakilan mahasiswa ini baru dalam taraf menyampaikan surat kepada DPRD Kota Semarang. Harapan para mahasiswa bertemu wakil rakyat, lanjut dia, agar bisa menjembatani keempat mahasiswa yang kini ditahan polisi.
“Nanti akan dilakukan oleh Komisi A, bisa hari ini (kemarin) atau pekan depan. Kami tidak bisa menekan kepolisian, sifatnya nanti menyampaikan keluhan dan aspirasi para mahasiswa,” ujarnya.
Dari hasil pertemuan kemarin, menurut Politisi PDI-Perjuangan ini, langkah diambil oleh polisi dengan menahan para pendemo dilakukan untuk mengindari kerusakan aset pemerintah. Dari ratusan orang yang sebelumnya ditangkap, lanjut dia, tinggal empat orang yang ditahan.
“Teman-teman ini juga mengatakan jika ditangkapnya keempat mahasiswa karena ada buktinya. Mereka itu mahasiswa baru. Perwakilan mahasiswa ini menunjukkan solidaritas dan meminta toleransi,” jelasnya.
Dalam pertemuan dan diskusi singkat ini, pria yang akrab disapa Pilus ini mengajak mahasiswa memandang dari berbagai sisi. Ia juga memahami mahasiswa adalah insan akademis dan berpikir kritis untuk menyikapi sebuah kebijakan.
“Di satu sisi, kita juga harus memahami kondisi psikologis kepolisian saat bertugas dalam menghadapi situasi demontrasi. Prinsipnya kita akan teruskan ke Komisi A untuk bisa melakukan mediasi dan menemukan jalan keluar,”katanya.
Sebelumnya, sebanyak 50 advokat Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum Masyarakat (BKBHM) Unissula mendatangi Mapolrestabes Semarang, Rabu (14/10/2020) siang. Mereka menuntut kepolisian untuk membebaskan empat mahasiswa yang masih ditahan terkait aksi demo di Gedung DPRD Jateng. “Kami akan menghadap kapolrestabes untuk melakukan pendampingan kepada adik-adik mahasiswa yang ditahan di sini (Polrestabes),” kata pengacara mahasiswa Victor Nizam.
Victor mengaku telah mendapatkan petunjuk dari Rektorat Unissula terkait adanya dua mahasiswa PTS ini yang ditahan. Pihaknya bermaksud mengajukan penangguhan penahanan agar mahasiswa tersebut bisa mengikuti perkuliahan. “Ini merupakan bentuk kepedulian kepada empat mahasiswa yang ditahan di sini. Nanti ada 50 orang yang akan mendampingi tergabung dalam wadah BKBHM,” tegasnya.
Persulit SKCK
Di sisi lain, adanya ancaman pihak kepolisian akan mempersulit pelajar mendapatkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) jika terlibat demo penolakan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai terlalu berlebihan.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah Muhdi mengaku sangat keberatan dengan aturan tersebut. Sebab, tidak semua pendemo terbukti melakukan tindakan anarkistis. Perlu adanya identifikasi lebih lanjut siapa saja yang melakukan tindakan pengerusakan.
“Kami keberatan. Karena pelajar itu masih anak-anak dan belum dewasa. Mereka bahkan belum cakap melakukan tindakan hukum,” ujarnya saat dihubungi RADARSEMARANG.COM, Kamis (15/10/2020).
Jika kepolisian ingin memberikan sanksi atau hukuman kepada pelajar yang ikut demo, lanjut dia, maka seharusnya bersifat edukatif. Bukan saksi yang berkaitan dengan masa depan. “Sebab, hal ini akan menjadi salah satu faktor masa depan anak untuk mencari kerja,” tambahnya.
Namun, untuk yang melakukan tindakan anarkistis, pihak kepolisian dapat memproses lebih lanjut sesuai UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. “Kami menolak kalau semua pelajar yang ikut demo dicatat dalam SKCK. Kecuali bagi mereka yang terbukti melakukan tindakan anarkistis, silakan bisa diproses sesuai undang-undang yang ada,” tutupnya. (den/cr1/aro/bas)