RADARSEMARANG.COM, Semarang – Unjuk rasa buruh dan mahasiswa menolak Undang-Undang Omnibus Law atau Cipta Kerja banyak melibatkan para siswa SMA dan SMK. Bahkan, saat demo Senin (12/10/2020) lalu, aparat Polrestabes Semarang mengamankan sedikitnya 32 siswa SMA dan SMK di lokasi unjuk rasa di depan Kantor DPRD Jateng Jalan Pahlawan.
Meski tak terbukti melakukan tindakan anarkistis dan para siswa dilepas kembali, tapi fenomena ini menjadi perhatian serius pemerintah. Termasuk pihak sekolah. Hampir semua SMK dan SMA di Kota Semarang langsung melakukan upaya preventif agar siswanya tak terlibat dalam aksi demo menolak UU Cipta Kerja.
Seperti yang dilakukan SMK Negeri 8 Semarang dan SMA Negeri 14 Semarang. Selain mengeluarkan surat imbauan untuk tidak mengikuti aksi demo, pihak sekolah juga berkoordinasi dengan orang tua siswa. Tak hanya itu, pihak sekolah juga mengubah waktu pembelajaran hingga strategi pemberian tugas.
“Kita selalu koordinasi di bagian manajemen sekolah. Waktu berlangsungnya demo itu kita efektifkan dan padatkan untuk jam-jam pembelajaran. Nantinya guru yang mengajar akan memantau keberadaan siswanya. Kita akan pantau juga dari tugas-tugas yang mereka kumpulkan,” ujar Kepala SMK Negeri 8 Semarang Harti kepada RADARSEMARANG.COM.
Harti mengatakan, pihak sekolah tidak menentukan sanksi khusus bagi siswa yang mengikuti demo.
“Kita tidak memberikan sanksi karena siswa ikut demo. Tapi, kita terikatnya ya di pembelajaran. Kalau siswanya tidak ikut pembelajaran, ya nanti efeknya tidak bisa mengerjakan tugas. Nah, jika ada siswa yang tidak mengerjakan tugas di saat itu, nanti akan dilakukan pendekatan lebih lanjut,” ungkapnya.
Menurutnya, karena kegiatan belajar dilaksanakan secara jarak jauh, orang tua ikut andil dalam mengawasi kegiatan anaknya. Sekolah sudah berupaya memberikan pengertian kepada siswa agar tidak mudah terprovokasi.
“Ini tidak berarti siswa itu buta akan politik. Mereka juga boleh menyampaikan pendapat selama yang dilakukan itu paham maksud yang disampaikan, dan mengerti bagaimana cara menyampaikannya,” katanya.
Ia menambahkan, pemerintah juga berkoordinasi dengan seluruh SMA dan SMK se-Kota Semarang untuk membentuk posko pengawasan siswa yang berpusat di SMK Negeri 7 Semarang. Posko tersebut dijaga oleh bagian kesiswaan dari masing-masing sekolah secara bergiliran. “Posko itu jadi pusat pemantauan apabila ada siswa yang terlibat demo,” ujarnya.
Upaya preventif untuk mencegah siswa terlibat demo, juga dilakukan di SMA Negeri 14 Semarang. Sekolah ini menerapkan pembelajaran dengan menggunakan video conference. Selain itu, juga dilakukan pemadatan waktu belajar agar siswa lebih fokus pada pembelajaran.
“Saat kami mendengar informasi adanya demo, kami akan memaksimalkan pembelajaran di jam-jam kritis demo. Kami juga mengadakan penyuluhan kepada siswa. Selain itu, saat pembelajaran kami menggunakan video conference dan meminta siswa mengaktifkan kamera agar kami tahu posisi anak di mana,” papar Wakil Kepala Sekolah Bagian Kesiswaan SMA N 14 Semarang, Sri Sadtiti.
Terpisah, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah Muhdi mengaku prihatin dengan fenomena banyaknya siswa SMA dan SMK terlibat aksi demo. Menurut dia, seharusnya selama pandemi ini, siswa belajar dari rumah atau daring.
“Menurut saya, siswa ikut-ikutan demo itu karena tidak adanya orang dewasa, seperti guru atau orang tua yang menjaga dan mengedukasi mereka. Terlebih bagi orang tuanya yang bekerja mencari nafkah,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, selama belajar di rumah, siswa kerap berkumpul dengan orang yang lebih dewasa, sehingga mereka mudah terpengaruh untuk mengikuti. “Dengan mudahnya informasi menyebar tanpa adanya penyaringan, menyebabkan anak-anak mudah terprovokasi melalui media sosial,” ujarnya.
“Biasanya mereka memengaruhi dirinya sendiri, apalagi sebagai anak muda jika melihat teman-temannya banyak yang ikut demo, kalau tidak ikut, merasa tidak jagoan atau penakut,” tambahnya.
Muhdi berharap para siswa hendaknya fokus mengikuti pembelajaran. Sedangkan bagi guru, ia meminta tetap memberikan pembelajaran sesuai dengan jam belajar. “Jangan hanya memberikan tugas kepada para siswa,” tegasnya.
Selain itu, guru harus tetap memberikan pendidikan karakter sekalipun dengan segala keterbatasannya melalui online. “Terpenting bagi orang tua. Dampingi, awasi, dan bimbing selalu anak-anaknya di setiap aktivitasnya. Sekalipun sibuk bekerja,” ucapnya.
Berbeda dengan pendapat Pengamat Pendidikan dari Universitas PGRI Semarang (Upgris) Ngasbun Edgar. Menurutnya, jika dilakukan secara sadar dan tidak ada ketentuan yang dilanggar, demo pelajar dapat dianggap sebagai fenomena positif yang harus dihargai.
Ngasbun mengatakan, siswa SMA/SMK sudah bisa dianggap dewasa. Pasalnya, sebagian dari mereka telah memiliki KTP. Karenanya, mereka memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara secara penuh. Mereka berhak menyuarakan aspirasi melalui lisan maupun tulisan, termasuk melalui demo.
“Jika pelajar yang bersangkutan memiliki aspirasi untuk disampaikan, ya fine-fine saja. Silakan. Yang penting tidak demo di jam sekolah. Jangan demo pas lagi pembelajaran online,” kata Ngasbun kepada RADARSEMARANG.COM, Rabu (14/10/2020).
“Tapi kalau ikut demo karena dimobilisasi pihak tertentu atau untuk kepentingan tertentu, ya jangan mau,” imbuhnya.
Akan tetapi, menurut Ngasbun, sebaiknya pelajar tidak usah ikut demo. Sebab, meski usia sudah beranjak dewasa, mereka dinilai belum memiliki pengendalian emosi yang baik. Hal yang dikhawatirkan kemudian, mereka mudah terprovokasi dan melakukan tindakan-tindakan negatif.
Lagi pula, kata Ngasbun, demo hanya salah satu cara berdemokrasi. Selain dengan demo, lanjut dia, siswa bisa menyampaikan aspirasi melalui forum diskusi, seminar, dan sebagainya. Di era digital ini, mereka juga bisa dengan mudah menyampaikan aspirasi melalui media sosial atau dengan mengirim tulisan ke media. “Saya tidak merekomendasikan demo. Demo dijadikan sebagai titik akhir saja, ketika cara-cara lain sudah tidak berhasil,” katanya. (mg1/mg4/cr3/cr1/aro/bas)