RADARSEMARANG.COM – Sejumlah pasar tradisional di Kota Semarang berubah menjadi tempat tinggal. Terutama di pasar yang sepi pengunjung.
Pasar Bulu Semarang sudah dibangun megah. Tapi sayang, sepi pengunjung. Akibatnya, banyak kios terutama di lantai dua yang kosong. Bahkan, sebagian los dibangun dengan petak kayu dan digunakan sejumlah pedagang untuk tidur. Mereka memilih tidur di pasar, karena jauh dari rumah atau tidak punya tempat tinggal. Bagian yang digunakan tidur berada di lantai dua dengan dibangun sekat menggunakan kayu atau triplek. Pedagang biasanya tidur dengan beralaskan meja kayu lainnya. Bangunan tersebut berada di ujung timur lantai dua Pasar Bulu.
Bangunan terbuka dan sejajar biasanya digunakan aktivitas melepas lelah setelah berjualan. Sejumlah pedagang juga tampak menjalankan salat dan aktivitas lainnya seperti bersantai di lokasi tersebut. “Saya setiap hari jualan, kalau malam ya tidur di sini, karena rumah jauh di Ambarawa,” kata seorang pedagang Pasar Bulu Semarang, Mustaqim kepada RADARSEMARANG.COM.
Ia mengaku sudah berjualan sejak Pasar Bulu masih belum dibangun bagus. Dengan jarak rumah yang jauh, ia akhirnya memutuskan untuk menginap di dalam pasar. Tidak sendirian, biasanya sejumlah pedagang memilih untuk tidak pulang atau memang tidak ada tempat tinggal lain. “Ada tempat buat tidur ya dibangun sendiri dengan kayu di lantai dua,” ujarnya.
Selain itu, tinggal di pasar juga lebih hemat. Sebab, untuk berjualan biasanya sudah harus buka pukul 03.00. Pedagang yang tidak menyewa kios cukup dengan membayar retribusi, keamanan, dan uang sampah yang tidak besar. “Ya, sekalian jualan dan tidur di sini lebih hemat. Apalagi hasil penjualan juga tidak selalu ramai,” katanya.
Meski begitu, saat ini tidak banyak pedagang yang tidur di pasar. Sebelumnya di pojok timur lantai dua banyak dibangun sekat tertutup dari kayu atau triplek. Tetapi belakangan ditertibkan, karena seringkali digunakan beberapa oknum untuk mengajak yang bukan pasangannya. “Sekarang yang tidur di sini bisa dihitung jari, dan tempatnya juga tidak tertutup seperti dulu,” ungkapnya.
Sebenarnya, sejumlah pedagang mengaku senang dengan dibangunnya pasar lebih megah. Hanya saja, ternyata justru tidak semua merasakan dampak positifnya. Terutama pedagang di lantai dua yang mengeluh sepi pembeli. “Sekarang tidak seramai dulu. Apalagi di lantai dua sepi,” keluh pedagang lain.
Saking sepinya, bahkan di lantai dua, banyak kios yang tidak digunakan, karena tidak ada yang menyewa. Biaya sewa yang cukup mahal, tidak sebanding dengan pendapatan dari berjualan. Selain itu, beberapa kios ditutup Pemkot Semarang karena penyewa tidak membayar sewa atau biaya lainnya. “Banyak yang pindah, dan sebagian membuka kios di luar pasar,” katanya.
Pasar Krokrosono di Kelurahan Bulu Lor, Kecamatan Semarang Utara kini juga banyak dipakai tempat tinggal. Dari 11 blok pasar ini, yang digunakan sebagai tempat tinggal sekitar 20 persen.
Salah seorang warga, Sugiyarti, mengaku, sudah menempati tempat tersebut selama dua tahun bersama dua anaknya. Bilik berukuran 3×3 meter tersebut digunakan untuk tidur. Sedangkan untuk mandi, ia menggunakan toilet di luar. “Sebenarnya tempat ini tidak layak, tetapi mau kontrak rumah harganya mahal, ya terpaksa tinggal di sini. Saya membayar sewa Rp 150 ribu per bulan,” akunya.
Sekretaris Paguyuban Pedagang dan Jasa (PPJ) Kokrosono Sriyanto mengatakan, pasar yang dijadikan sebagai tempat tinggal seharusnya tidak boleh. Tapi, dirinya tidak bisa berbuat banyak. “PPJ mau melarang tidak bisa. Seharusnya yang berhak melarang itu petugas Satpol PP sebagai penegak keadilan. Kami nggak enak, karena kenal semua,” katanya.
Diakui, Pasar Kokrosono tidak seramai dulu. Terutama di lantai dua, dan bangunan yang berada di pojok. “Karena sepi itulah, bangunan kios banyak yang disewakan sebagai tempat tinggal. Dijadikan tempat kos,” ujarnya.
Untuk lantai dua yang digunakan untuk kos itu, pihaknya mengaku tidak mengetahui pemiliknya. Tetapi memang ada yang memiliki tempat tersebut.
Diakui, jika pengurus PPJ mengingatkan, selalu terjadi pertengkaran. Sehingga pengurus memilih diam saja ketimbang ricuh. Sriyanto mencontohkan ketika ada yang berjualan di bahu jalan, sudah diperingatkan oleh pengurus bahkan sudah diberi surat, tetapi tetap ndableg. “Kalau pengurus yang bertindak nanti justru akan dimusuhi. Yang seharusnya punya wewenang untuk mengingatkan ya Satpol PP,” tegasnya.
Camat Semarang Utara Aniceto Magno Da Silva mengakui Pasar Kokrosono sering disalahgunakan untuk tempat tinggal. Tak hanya itu, tempat tersebut kerap digunakan untuk hal-hal negatif, seperti minum-minuman keras, judi, pemakaian obat terlarang bahkan prostitusi. “Ya kerap disalahgunakan,” katanya.
Menurut Aniceto, sebelumnya pernah muncul wacana Pasar Kokrosono akan dibangun seperti Cihampelas Bandung. Bahkan sudah pernah diusulkan dalam Musrembang Kota Semarang 2018. “Kami juga pernah studi banding ke Bandung dengan semua lurah di Kecamatan Semarang Utara. Cihampelas itu sama persis seperti Kokrosono,”ujarnya.
Yang membedakan dengan Cihampelas dengan Kokrosono, lanjut dia, kalau Kokrosono di bawahnya digunakan sebagai tempat parkir. Sedangkan Cihampelas digunakan sebagai jalan raya, dan di atasnya digunakan sebagai PKL. Keuntungannya, pengunjung bisa melihat pemandangan yang unik yakni pesawat saat landing atau take off, jembatan Kokrosono pada saat kereta api melintas, dan melihat Sungai Banjir Kanal Barat.
“Banyak kelebihan Kokrosono karena pengunjung bisa melihat secara langsung pemandangan yang luar biasa bagus. Ini akan menjadi ikon baru yang unik. Tapi, belum tahu kapan akan direalisasikan, karena keburu ada Covid-19,” katanya.
Selain dua pasar di atas, ada lagi pasar tradisional yang menjadi permukiman. Yakni, Pasar Manyaran Semarang Barat dan Pasar Kalicari, Pedurungan. Di Pasar Manyaran, tampak terbengkalai dan hanya terdapat segelintir kios yang buka. Selebihnya, pasar tampak beralih fungsi menjadi pemukiman. Pun dengan Pasar Kalicari, tak jauh dari bangjo Tlogosari. Pasar ini juga sudah mati suri. Sejumlah kios berubah sebagai tempat tinggal. (fth/hid/aro/bas)